Wajah Dunia Yang Hilang

The Scavengers,  looking for garbage
for recycling, Jakarta, 2011

Tubuhku tak seharum tubuhmu
luruh sunyi yang tak terdengar oleh hari
wajahku tak seindah wajahmu
tetapi aku ada
kadang kala berada sangat dekat denganmu.

Kemana saja kamu
wajahmu tak kelihatan
apalagi wajahku
Berkata air kepada banjir
Berkata akar kepada pohon
Berkata rembulan kepada matahari.

Dan berkata aku kepadamu!!


Jakarta, November 2011
(Diperbarui 2019)


-Janu Wijayanto-

Hitam Kulihat Jakarta


Mataku menghitam
kulihat Jakarta
Pikiranku keruh
Kejernihan tlah lama dibawa lari.

Aku rindu pohon
diantara gedung-gedung yang terus tumbuh
Ingin segera menanam dan menyiraminya
Aku tak peduli tumpukan laba di rekeningmu
Toh itu hak mu,
Aku hanya ingin kau tanam pohon untuk cucumu
dan biarlah mereka masih memiliki air yang cukup sehat untuk hidupnya.

Hitam kulihat Jakarta dalam mimpiku
aku takut itu bukan hanya mimpi
hanya kulihat sebatang pohon hijau diantara hitam.

Aku takut dengan mimpi itu
tetapi ketakutanku tak berlangsung lama
Terima kasih pohon hijau
Di mimpiku kau menyelamatkanku.

O hijau

Jakarta, 19 Oktober 2011
(Diperbarui 2019)


-Janu Wijayanto-

Rindu Hujan

Kunanti hujan turun
berkata debu kepada awan
berkicau burung pagi tinggalkan dahan
dan kulihat begitu banyak siang ini tikus-tikus mati di tepian sawah.

Tidakkah hari akan segera turun hujan
tidakkah matahari memerintahkan awan untuk beranak hujan
bukankah hari depan milik pengharapan
dan aku mengharapkanmu wahai hujan.

kususuri jalanan kecil diantara serpihan barang-barang tua
sajakku teronggok di ujung jalan
disana kulihat para pemuda berbondong bondong demonstrasi
bercteriak-teriak dalam mimpi rongsokan kekuasaan.

duhai pelangi
dari penunggangmu kami dilahirkan
di pulau ini dia adalah ibu suci dari kami semua
tidakkah kau rindukan kami
O hujan
bawalah serta dia bersamamu
kami menantimu
kami merindumu.


Depok, 25 September 2011
(Diperbarui 2019)


Janu Wijayanto

Hadiah Puisi

Ia begitu ingin melukiskan wajahnya dalam kain itu
mengungkapkan untaian kalimat agung untuk kekasihnya
Ia yang bisa dipahami oleh larutnya malam dan cahaya rembulan
O bintang-bintang tak bertepi
Ingin kuberi hadiah puisi kepadamu

namun dia diam tak menjawab,
wajahnya bintang redup
wajah rembulan tak bercahaya
dan wajah-wajah itu menatap kepadaku
juga kepadamu
Pada bait-baik senja wajahnya murung
Dan terus menatap kepadaku
Juga kepadamu

Terimalah ini,
hadiah puisi
untukmu.



(Somewhere and sometimes...)

-Janu Wijayanto-




(Jakarta, 7 September 2011)

Kesaksian Untuk Paduka Yang Mulia

Tidakkah kau melihat begitu terangnya wajah rembulan kali ini
tentu saja bukan kita sendiri yang melihatnya
Sebelum selimut melipat dinginnya gerimis malam ini
aku ingin berkisah kepadamu
kisah tentang air angin api dan tanah
juga tentang cahaya dari Sang Pencipta
tentang manusia.

Namun sebelum aku memulai cerita,
aku hanya terduduk di kursi malas semalas tubuhhku yang enggan menjelma menjadi manusia,
aku benar-benar hanya binatang ciptaan Mu Tuhan.

Terima kasih tlah Kau utus manusia-manusia agung menyelamatkan tugas anak-anak jamannya.


Jakarta, 2011
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Gonggongan Anjing

Terdengar suara perubahan menyalak sebagai anjing pada malam mencekam
orang-orang yang tlah beranjak ke peraduan dibuat ketakutan
sepi semakin menjadi
drama ketakutan menggeluti malam
diantara segerombolan anjing tak semua menggonggong
namun semua memanfaatkan bunyinya
malam semakin mencekam
Semakin menyalak
semakin menggonggong anjing-anjing

Anjing!

Drama malam anjing
Dan para anjing terus menyuarakan gongongannya
sambil mencabuli temannya
Tidakkah kau tahu gonggongan anjing itu lebih baik dari gonggongamu yang membuat sepanjang malam menjadi suram
Kasihku berbalas ingkar,

Anjing!!



Jakarta, 7 Januari 2010
(Diperbarui 2019)

- Janu Wijayanto -

Pertanyaan Pertanyaan Sajak

Pada penghujung malam di atas aroma tanah tersiram hujan ini
sejujurnya kuakui tlah kuabaikan teguranmu wahai rembulan
membayangkan kecantikanmu aku takut
aku tidak siap menyusun pertanyaan
meski kutahu sekalipun kau akan selalu memberiku jawaban
bisa saja aku akan senang
tapi bisa juga aku sedih
Namun yang jelas pertanyaan selalu menghendaki jawaban.

Masih bolehkah anak-anak kami nanti memiliki harapan di tanahmu ini wahai leluhur dunia
sedangkan banyak mimpi-mimpinya dilarah oleh hukum besimu

Apakah masih boleh kami punya nasib bisa berubah
sedang kami tlah kehilangan bayangan perubahan
sebab kini wahai leluhur dunia
bayangan telah dibeli
diborong habis oleh kekayaan yang saudara kami tak miliki.

Aku hanya bisa mengajukan pertanyaan
pertanyaan sajak.

Jeritan-jeritan kegemparan kehidupan
dari keluh
lenguh
hingga luruh selaksa doa berhamburan keluar dari pesta sejenak rasa.

Pertanyaan sajak mencari jawabanmu
berdikari
atau terkoloni
semua ada dalam jawabanmu.

jawablah dengan mulut dan dayamu sendiri
kau bukan tamu di negeri sendiri
sudahi menjerit
semua pun tahu hidup rakyat sulit

ubahlah olehmu
kau rakyat
bukan penguasa
lihatlah disana petani-petani berseri saat panen tiba, kau akan tetap dipuja saat berjuta pemuda berhasil kau buat bekerja dan menjadi angkatan perangmu
perang untuk merubah keadaan
perang untuk mewujudkan jawaban atas pertanyaanmu

Yakinlah dan kamu akan bisa.

Lihatlah di pagi itu
begitu banyak embun berjejer menuju ujung daun
bangunlah dan saksikan mereka
lantas kau bawa serta dayamu bersamanya.

Sebentar lagi matahari  tropis kita akan berwarna jingga dan sambutlah hasilmu esok akan tiba. Nantikanlah dan teruslah bertanya dan kau jawab sendiri dengan karyamu
dengan imajinasimu
dan pada akhirnya pertanyaan sajakmu akan berlabuh di tepian perwujudan cita-cita.



Jakarta, 12 Januari 2010
(Diperbarui 2019)


-Janu Wijayanto-

Mana Terompetmu Kawan

mana terompetmu kawan...

Biar kita lekas satu,
buruan
sebab sudah banyak hantu baru di kampungmu
menghisap tetangga dan keluargamu
dia bisa masuk ke kamarmu tanpa kau tahu
usir segera dia biar saudaramu adil sejahtera
dia takut dengan pemberani.

...mana terompetmu kawan

Biar lekas terdengar gema bunyimu
bangunkan saudara-saudaramu di dalamnya massa aksi itu
katanya hantu-hantu itu takut kalau kita satu
mereka tak mau memberi pilihan lain
hanya kita yang berjiwa merdeka boleh memilih.

mana terompetmu kawan...

Sudah lama kawan-kawan kita menanti
kejayaan jaman leluhur memang romantik
namun kita butuh itu menjadi penghibur perjuangan
biarkan pasukan alam gaib ikut menari dan bernyanyi bersama kita
mereka baik-baik kecuali yang jahat dan berkhianat
kita ambil lagi pusaka leluhur kita kembali
pusaka yang harus diaktifkan dari setiap manusia yang mendapat tanda.
Tanda yang berarti makna.

....mana... terompetmu kawan

Lihatlah langit kian pekat hitam
Ibu membunuh tega anaknya demi mengakhiri sisa kemelaratan
sementara disana mereka berpesta menghamburkan kekayaannya.

mana terompetmu kawan

kita tak pernah melarang orang kaya
hanya perlu meniupkan sangkakala agar manusia seperti kita mau berbagi hati dan kerjasama

....mana terompetmu kawan

Ayo menari
ayo menyanyi
biarkan kita semua bisa berpesta
bersatu dalam kerja dan karya
menjemput keadilan dan kekamuran yang dijanjikan menjadi milik kita.


Jakarta, 20 Januari 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Aroma Kembang Kopi

Telah kuseberangi batasmu
melintasi bibir bukitmu
berteman aroma kembang kopi.

Aku menerka
menyoal dan bertanya
bergegas lekas dari balik kaca kedaraanku
mataku singgah pada tubuh-tubuh yang nampak lelah.

Matanya bertanya kepadaku
pada kedatangan-kedatangan baru yang mendekar padanya
kami punya harapan tetapi tidak punya kesempatan.

Aroma kembang kopi 
begitu wangi 
semerbak memberi harapan namun kemudian hilang kedalam semak belukar ketiadaan
mereka tetap bekerja
dan menunggui kemakmurannya yang selalu lama atau seringkali datang terlambat menyapanya.

Perjalanan ke Musi Rawas, 1 Februari 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Tirai Hidup



Jangan kau jauhkan aku
berkata dia kepada langit
tunggulah sampai separuh bulan beranjak
akan kau dapati tubuhku kuserahkan kepadamu.

Ia akan mengajakmu bercerita
mengguruimu
mencibirmu
hingga pada gilirannya waktunya tiba ia akan mampu membuatmu lupa.

Cawan keindahan melukis wajah peradaban
bercinta dengan gelora
bercumbu mesra dengan nestapa
menyumbui alam yang tak pernah berontak kau perkosa
alam dan manusia berada di saat yang sama
seperti kedatangan dan perpisahan
kesulitan dan kemudahan
tirai itu tipis setipis kematian dan kehidupan disebelahnya

Dan kau, harus mengingatnya.


Pulau Nias, 2010
(Diperbarui tahun 2019)

-Janu Wijayanto-

Takkan Letih Bumiku



Jangan letih bumiku
lihatlah kembang-kembang itu masih tumbuh
semangat juang masih utuh
lihatlah di ujung sana pengharapan
setiap kali muka-muka tengadah dan meminta
mereka berharap dan meminta
kita pun seringkali sama
hanya berbeda.

Jangan letih bumiku
dengarlah suara itu
taat menunggui panggilanmu hingga matahari hilang
bersabar menanti kemurahan datang.

Jangan letih bumiku
pralaya akan tiba
berseraklah dimana-mana
bagikanlah kebajikan untuk menghindarinya
bergeraklah tanpa sepengetahuan mereka
hingga jiwamu tak lagi terkunci.

Jangan letih bumiku
hutang kami kepadamu
pada semangat yang berani menamparku
pada tekad yang seringkali membakarku
juga pada tetesan sajak-sajak mencair mengalir menenggelamkan hanyut kebodohanmu.


Jakarta, 5 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Bait Api



Baitnya setajam kapak dan sangkur
tebas putus rantai belenggu kufur
Raja Api sajaknya tak pernah tidur.

Bait api
bakar-bakarlah jiwa kami
bakar-bakarlah badan kami
biar adil sejahtera bumi kami.

Jakarta, 12 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Seorang Pengelana


Sajakmu beku bunyi
keindahan membenci
hanya nadi jaman tetap bernyanyi.

Untuk bumi ranjang kita
biarlah kapalmu berlayar ke samodra rahasia
biar bibirmu mengumpat mantra tanda
persetujuan terbaru digali dari lakumu
didapati dari perjalanan seorang pengelana.


Jakarta, 15 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Sajak Bebal Kemerdekaan


Sudahkah kau buang goresan kisah revolusi 17 Agustus 1945 dari catatanmu
kau biarkan teronggok sebagai tumpukan kertas bekas menghias tembok batu
hanya menyimpannya sebatas kisah akan masa lalu.

Kau adalah generasi pelamun yang bebal
dan wajarlah jika kau hanya mampu membikin sajak bebal
punguk merindukan bukan
pengennya hidup enak tak mau kerja
bermimpi makan kenyang di tengah perih bunyi perut lapar
tanpa berbuat
tanpa berdebat
menunggu kemustahilan omong kosong
Jangan kau tiru yang disana
mereka berdebat kenyang sambil menunggu gaji negara.

Kalau kau menirunya kau akan mati
kau lapar
kau miskin'
kau jangan belagu!
Lekaslah bekerja.

Kamu belum merdeka!!



Jakarta, 23 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Tubuhmu di Mimpi Malam Itu


....di mimpi malam itu
saat ku selami danau itu 
kita berdua tenggelam begitu dalam
apakah ini ilusi waktu...
aku begitu lupa itu tubuh siapa...

Kuingat saat kau sibakkan dahan-dahan bakau itu
separuh saat berlalu datang dan kau menghilang 
kupanggil hadir dan kau berlari
kumendekat dan semakin jauh bayangmu berlalu.

...di mimpi malam itu...

kayuh perahuku dan cadikmu 
mendepa begitu dalam biru lautmu
terengah separuh malamku...
hitungan waktu matahari tak kuat lagituk menghamburi sinar pagi
berhamburan sinarnya bakal menembus tubuhku...
tak ingin segera berlalu,
sebab terang kelip bintang masih hiasi sudut malam
menunggu habis tubuhmu mencair dalam pangkuanku

...di mimpi malam itu ...

mengalir air hujan di atas genteng
deras dan basah membawa suasana suwung
tanpa tangisan tanpa pujian
kehendak bebas menderu tanpa kuasa melawan 
menggumpal pada tubuh malam itu
tubuh yang menguasaiku
tubuh yang memerintahku
aku tiada 
hanya TubuhMu yang nyata

Terjatuh kita dari swarga
dekatkanlah tubuhmu pada tubuh malam
tenggelamlah bersamanya 

Sebelum hari berganti pagi
pagi akan segera siang dan siang mengundang senja lantas mengajak malam kembali datang
mengingatkanmu
mengingatkanku
... tak perlu kita meminta dia datang dan memberi kenali saja 
tugas kita mengenalinya ...

Tubuhmu di mimpi malam itu tak berarti apa-apa 


Jakarta, 2011
(Diperbarui Desember 2020)

-Janu Wijayanto-

Aih ai

Aih ai
Aih ai …
aku jatuh cinta
kepada rembulan, danau dan bunga-bunga.

Aih ai
Aih ai ...
mataku berlabuh di pantai
hatiku berdebur pada gulungan ombak yang membawa bayangmu berselancar diatasnya.

Aih ai
Aih ai...
aku mengingatnya
aku merindunya.


Manado, 2010

-Janu W-

Hari Yang Biasa


Aku tak lagi tersenyum mendengar kokok ayam
seperti juga kamu yang dilanda kemuakan
kau tolak beranjak dari ranjangmu
dan selubung ini membuat kita semua sama
manusia biasa
kadang merasa malas.

Aku tak lagi menandai malamku
sebab malam tak sudi lagi membiarkanku menghabiskannya
dan untuk itu aku tak lagi setia menungguinya.

Tetapi pagi selalu kembali tiba
tak lama lagi debu dan asap telah menanti kelopak mata
dan tiba kita pada hari-hari yang biasa.


Jakarta, 28 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

O Pengembara

O, dingin
Maharaja dimana rumahmu
kakiku lelah menujumu tanpa arah.

O, pengembaraan
O, dunia
terlempar aku
tak lama.


Jakarta, 2 April 2010
-Janu Wijayanto-

Kaum Kalah

Diam resah
hidup pasrah
menyerah
kalah.

sampai akhirnya pada perut pertiwi
kau berkata
disini tidak ada surga
aku kalah.

Jakarta 6 April 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Langkah Kaki Buta


Langkah tertinggal tanpa jejak
tetapi kaki terus berayun dengan mata kaki tertutup sepatu
langkah kaki buta
jangan menjadi generasi yang tak diakui ibunya sendiri.

Jakarta, 05 April 2010

-Janu Wijayanto-

Deretan Kegelisahan

Menghitung deretan kegelisahan
berteman dengan kumpulan bising
aku debu terhempas angin
teronggok bersama daun-daun kering.

O, kegelisahan
O, sajak setia
O, cinta
hilang terbang tanpa pesan.

Telah kau tusuk hatiku
terkoyak
berantak.

O, gitaku
tembang jiwa.

Kau suguhi aku gelisahmu
dalam deretan tebing malam menggelisahkan
disana telah terbaring tubuhmu menantiku
menanti hitungan derap jantung menyusuri deretan kegelisahan.


Gunung Putri, 06 April 2010
-Janu W-

Runtuhnya Kota Itu

Malam padam
lampu tak lagi peduli menolehkan cahayanya dimataku
terang itu tlah pergi bersamamu.

Aku lelah berdiri dalam gelap
mendiami tirani sunyi yang menyayat
meratapi tarianmu yang hilang.

Oh, Agaphe
sudah cukup kauajari aku deritamu.

Runtuhnya kota itu
meninggalkan bekas pagar duri-duri hati
dan di balik runtuhan tembok aku mendengar gemerisik daun dirayu angin
aku cemburu
aku marah
aku benci
iri
Aku berlari mengejar angin yang hilang membawa pergi kekasihku bersamanya.



Jakarta, 08 April 2010

-Janu W-

Pengembaraan

Tercium wangi olehku pengembaraan
O, burung-burung senja
berguru aku kepadamu.

Debu hantarkanku pada kelip mata di wajah sesama
aku hidup di antara
sepertimu senja.

Jakarta, 9 April 2010
-Janu W-

Kawan Penyair

Ludahmu pun kau ludahkan menjadi sajak.


Purworejo, 8 April 2010
-Janu W-

Biarkan Hati Yang Bicara

Saat kata tak mampu lagi berkata biarkan hati yang bicara
aksara itu
aku mengejanya
kalimat itu pilihannya.

Tak ada sesaji persembahan
hilang bernyanyi burung pagi
pergi berganti desing besi di kota ini.

O, debu
telah kau curi temaram dari balik malamku
sudah kau usir pergi rembulan dari balik awan itu
dan kini sepanjang hari kau sesaki hatiku.


Lihatlah, sisa keindahan itu tak terceritakan lagi.


Bekasi, 13 April 2010
-Janu W-

Minerva

Sore ini
aku menatapnya
diam.

Minerva itu
tiada lagi
ia tlah pergi sore ini.

Tertunduk aku
hilang nyanyian
akar ilalang melilit kakiku
mengikatku menjauh tanpa penantian.


Jakarta, 23 April 2010
-Janu W-

Elegi Penghuni Pulau Api

Di depan kibaran bendera itu
aku melihat tubuh-tubuh tidur diatas emas
aku melihat wajah-wajah sendu bersandar letih pada tebing batu-batu cadas
di bawahnya mengalir sungai kehidupan
mengalir deras oleh tangis para penghuni pulau-pulau api.


Stasiun Tugu Yogyakarta, 18 April 2010
-Janu W-

Gadis Kecil Di Balik Rumpun Bambu

Mendekatlah kau langkah kecil
aku melihat wajahmu
kau sembunyikannya di balik rumpun bambu
aku melihatmu
melihatmu tangan kecil
kau tampakkannya tegar menyibak rumpun bambu.

Langkah-langkah kecil terus berjalan menyibak wajah kematian menginginkan kebahagiaan kecil dari sisa kasih sayang yang diberikan matahari kepada pagi.

Kemarilah dadaku kuat menyangga bebanmu
aku melihat tubuhmu
di balik rumpun bambu
Kemarilah sayangku ijinkanku memeluk tubuh Tuhan di tubuhmu.

Yogyakarta, 20 April 2010

-Janu W-

Bencana

Lusuh melukis wajah malam menggelapi kesombongan
bencana tak sangka
datang begitu saja.

Sebuah janji
hadir dalam garis yang pasti
berarti mati.

Di pucuk warna bumi
diantara yang terus hadir dan pergi
hidup diantara tirai mati
diantara keselamatan dan bencana.

Jakarta, 24 April 2010

-Janu W-

Tragedi Sekolahan

Lihatlah Ibu, anakmu letih menatap kertas ujian nasional
kerlip cahaya di mata
menanggung beban rekayasa orang dewasa.

Lihatlah Ibu, aih… anakmu lulus juga
tetapi, kelulusan ini hanya menjadi awal duka
sebab tak ada lagi dana untuk kemana.

Lihatlah Ibu, anakmu sekarang kerja
tetapi ia tak bisa apa-apa hanya tubuhnya saja semakin kurus
karena ingin mengganti tenaga dengan upah sedapatnya.

Jangan kau tanya berapa gajiku ibu
sebab di negeri ini buruh sepertiku tabu menanyakannya
lebih baik memilih diam tak tahu apa-apa.

Hai...hai... lihatlah Ibu,
anakmu pun berkeluarga
beranak pinak hingga kepalanya bercabang banyak
tetapi lihatlah tak ada lagi lebihan dari hasil kerja.

O, Ibu lihatlah anak-anakmu
mewariskan kembali kesengsaraan pada anaknya
beginilah kalau pernah sekolah namun tak sadar apa-apa untuk nasibnya.


Jakarta, 26 April 2010
-Janu W-

Sajak Untuk Intelektual Indonesia



T..
…I
…D
..U...
…R.

TIDUR.


Jakarta, April 2010
-Janu W-

Good Bye



I let you walk
I left that night
you asked me why
that wasn't there.


Yogyakarta, Maret 2010

-Janu W-

Hati Yang Telah Menjadi Besi

Aku melihat mereka
terkapar di jalanan
merasai perutnya
juga tangannya yang menopang dagu
di dekatnya gerobak menampung anak-anak mereka, bercanda mendendangkan kekurangan.

Debu melukis wajahnya
beton dingin pesing lorong jalanan menyunggi kepalanya
apakah mereka juga ciptaanmu Tuhan.

Melihat disampingnya mobil mewah dan sekawanan pejabat berlalu dalam pengawalan bunyi sirine melaju
apakah mereka juga ciptaanmu Tuhan.



Jakarta, 29 April 2010

-Janu W-

May Day


Telah datang harimu wahai buruh
rayakanlah
sadarkanlah kawanmu
perjuangkanlah hakmu.

Pada barisanmu sajakku bersamamu
memihakmu
ajaklah saudaramu menari
di depanmu telah berdiri robot-robot kekar siap mencabik badanmu yang kurus itu bungkam sunyi.

Jangan kita hilang muka
sudah lemah raga
lemah jiwa.

Putuslah rantai belenggu kita
jadikan manivesto pembela
sebelum mimpi kita terbagi
sebelum habis negara dikuasai kepemilikan pribadi.

Jangan kau tanya kini arti kepatutan
sebab untuk bisa menjual peluh pun, kau harus berebut dengan saudaramu sendiri
Jangan kau tanya lagi keadilan
sebab untuk menjadi kuli pun, kau harus berkelahi dengan kawan sendiri
Saatnya tugasmu menyudahi
sebelum malapetaka kembali menimpa.

Kami tak bisa bicara lantang kepadamu tentang kebahagiaan
tak lagi mengirimimu kabar gembira
tidak juga taburkan bunga-bunga pada pahlawanmu disana
sebab pada hari ini sudah hilang kesadaran kita bersama.

Sudahi meminta-minta kebaikan hati penguasa
jawabannya sudah pasti legam seperti tubuhmu
jawabannya sudah pasti geram menjawab permintaanmu itu.

Kibarkan panji-panji kekuatanmu
hantamkan tinjumu
rebut hakmu dan jangan lagi mengharap-harap mukjizat
jadikan kesejahteraan kita kristalisasi keringat.

Lihatlah kawanmu
mereka mulai diam terkena candu
bunyi kesadaran telah dikuasai lupa dan absentia.

Bangkit
Bangkit jiwamu
bangkit badanmu
penuhilah pundakmu dengan kerja.

Lihatlah kawanmu dimana-mana
di seluruh penjuru dunia
merayakan hari ini dengan gembira
dengan gelora api kesadarannya.

Esok pagi kita akan bernyanyi
tembangkan gita suci kemerdekaan
hayo kita penuhi jalan-jalan
biarkan barisan kita membangunkan harapan.


Jakarta, May Day 2010
-Janu W-

Mahatma Suci

Aku menatap julang tembok
aku menyadari bunyi kekosongan
seisi kelilingku mengutuk-ngutuk
tersudut aku nyengir menyaksikan lukisan kebimbangan.

Terbanglah kau mahatma suci
biar manusia menempa diri
menunggui tugasnya
menjadi pelayan sesama.


Jakarta, 3 Mei 2010

-Janu W-

Debu


Tubuhku membatu menunggumu
Tubuhku membeku menantimu.

Telah kucumbui ruasmu
disana tak juga kau tiba
Telah kutaati takdirku
disana tlah membekas pahatan dari derita.

Terpojok aku disudut gelap
menjilati tetesan darah dari luka kekasihku
aku tak berbentuk menjemputmu
remuk.

Kulihat bunyi bende perang menari diatas luka kesedihan
kusaksikan lomba manusia zaman badai berkhianat kepada angin
di matanya kulihat seekor anjing
meneteskan bunyi liurnya ke mulutku
mengutukiku
menghardikku
menyalakiku
lalu menjilat leherku
dan bicara mulutnya di depan mulutku:
"akulah dirimu yang tega menelan bangkai,
mencederai kekasihmu yang menunggui malamnya dengan doa-doa, yang menantimu dalam kibaran denting kesetiaan namun tlah kau benamkan anak panah pengabaianmu pada semua itu".

O, debu
Jilatilah tubuhku
aku sepertimu.

O, debu
Basuhlah aku
biarkan aku bisa kembali
mencumbui tubuh kekasihku yang tlah sunyi terkhianati.


Jakarta, 8 Mei 2010
-Janu W-

Di Kampung Para Penipu

Di kampung para penipu
ayo kita serbu
Tancapkan tumbak karyamu usaplah darahnya dengan kelembutanmu
sebab hari kian kering
cita-cita negara telah tergiling.

Di kampung para penipu
ayo kita buru
Hunus keris-keris sajakmu
tusukkan ke hati mereka yang tlah mati
sebab malam kian kelam
hutang terus dikenyam.

Negri korupsi
hidup rakyatnya
menanti mati.


Jakarta, 8 Mei 2010
-Janu W-

Ajakan Kepada Kawan



Dan kegelisahanmu saudaraku
adalah mimpi buruk
buta tuli pada derita sesama harus dilawan!

Sudah saatnya sajak-sajak berserak
hayo berdendang lagu manusia
hayo kawan saatnya menggugat kebudayaan.

Jiwa merdeka tak dikurung kuasa
hayo rapatkan barisan
dengarlah bisik hujan pada dedaunan
disana telah menunggu jutaan mimpi pada separuh malam yang hilang dari derap peradaban.


Jakarta, Mei 2010
-Janu W-

Kidung Suksma



Kidung suksma
di tempatnya kau boleh bicara dan bertanya
AKU adalah sajak itu sendiri
kepadaku kau boleh menangis dan tertawa.

Akulah gita kudus
bunyi terlantar tetembangan jiwa
akulah senyap tulus
bisik jaga pembuka gerbang asa.

Tembangku tak setegar petir
tak segelegar guntur
masih berlumur penuh ketakutan memohon
melawan hasutan kuasa salon.

O, jaman penuh rekayasa
O, jaman tua bangka
kuguratkan kepadamu kegelisahan tembang jiwa.

Biarkan nyanyi suci menari
suguhkan tubuhnya yang telanjang kepadamu
suguhkan kidung suksmajati untukmu
biar kau gagah menapaki tugasmu
untuk menggugat keadaanmu.

O, tepian indah bengawan pengharapan
aku tidak sedang melukis awan.

O, manusia yang dibangunkan bunyi
kekasih penjaja madu harum kelana sunyi.

Biarkan aku mencebur lebur
basuh basah badan mencari
tempa tubuh di kulit api.

O, kidungsuksma
kepadanya kematian bertanya.

Jakarta, 9 Mei 2010
-Janu W-

Tali Pengharapan

Petir itu seperti menyambarku siang ini
aku seperti terbunuh
binasa dihadapan suaranya
diantara setumpuk beban kerja.

Bahasa Zeus tak terpahami manusia
sedang ungkapan cinta hanya metafora saja
apalah artinya rasa tanpa kehadiran
apalah artinya kehadiran tanpa penghayatan.

Ingin segera aku berlari, tetapi kedua kakiku terikat pada sebuah tali pengharapan. Berbisik dedaunan menari di sekelilingku, menggunjingku hingga malam, kaki langit bersenandung dan bumi rasanya terbelah seketika itu, mengejekku.

Bekasi, Mei 2010

-Janu W-

Seperti Hantu


Lihatlah di atas sana langit telah menjadi besi
Lihatlah di atas sana kekuasaan masih seperti hantu.

Masa berlalu
sampai juga terkini
esok tak tahu.

Tindas menindas
besar muka kuasa
seperti hantu.


Jakarta, 12 Mei 2010
-Janu W-

Tarian Semesta (Lagu Manusia 1)


Aku tumbuh di tepi semesta
pernah hanyut di sungai bahagia
pernah juga hanyut hingga pantai duka.

Hidup seperti perang
nurani acapkali menang
di bumi kita pendatang
seperti pagi menunggui petang.

O, lagu manusia
kau suguhiku candaan dari gemulai tarian semesta.


Jakarta, 14 Mei 2010

-Janu W-

Rumah Angin (Lagu Manusia 2)


Hilang tembang pagi
tercium terik hari-hari
mengikis ratap gubuk-gubuk sunyi
berjalan kami dengan tandu hati.

Lihatlah disana,
di balik tirai kegairahan yang menyala
di balik bunyi hasut malas tanpa karya
di balik kuasa diam
di balik keengganan
telah kurajut hari demi hari tanpa jejak persinggahan.

O, lagu manusia
saat ini aku berumah dan beratap pada angin.


Bekasi, 18 Mei 2010
-Janu W-

Hadiah (Lagu Manusia 3)



Ada kalanya orang bernyanyi lebih indah dari suaranya
entah rasa apa menjadikannya ada
mekar bunga bisa jadi layu
tetapi keindahan pada dirinya tetap menunggu.

Apa ini rasa
sekali melewatinya kembali pun tidak bisa
Apa ini rasa
tak perlu kategori apapun padanya hadir tanpa diminta.


O, lagu manusia
ia sungguh hadir tanpa diminta
ia sebuah hadiah dari-Nya.

Minahasa, 2010

-Janu W-

Mengenali Diri (Lagu Manusia 4)




Tak sungguh rasa hidup tanpa ditempa
hidup kita layak diuji
layak dijaga.

Jangan lagi letih wajahmu menunggui pantulan istana kaca itu biarkan ia bercakap-cakap padanya sebentar saja dari waktumu.

O, lagu manusia
di tepimu kucari sajakku sebelum hanyut di sungai waktu.

O, lagu manusia
di sepimu kudapati baitku saat kau ajak aku mengenali diriku.

Jakarta, Mei 2010
-Janu W-

Bingung (Lagu Manusia 5)



Wahai sang pelipat pagi
di kakimu aku bersimpuh
luruh
gaduh.

Angin dan badai itu mengoyakku
anak jaman yang datang meneguk api merdeka
telah dibawanya bangsa ini menyusuri tepian jaman warisan kebingungan.

Kemana larinya pengobar cita-cita
sebab disini mataku hanya bertemu wajah-wajah sayu
terik kesulitan telah melukis wajah-wajah tropis yang legam tanpa cahaya.

Dimana tersimpan pulau harapan
sebab telah lama kami tak tahu seperti apa manisnya keadilan dan kesejahteraan
roda-roda pedati ikut membawa pergi angin
meninggalkan bekas terik yang memanggang harapan kehidupan.

Tanah airku telah menjadi batu
tak dapat disini tumbuh subur mimpiku
tak dapat saat ini tumbuh subur harapanku.

O, lagu manusia
kutemukan sajakku dalam bingungku.

O, lagu manusia
kuciumi waktuku yang hilang bingung itu
meratap dan merayap dalam jejak yang ternyata kosong.


Bekasi, 30 Mei 2010
-Janu W-

Merdeka kok Bingung


Buntu
Bisu
Rakyat negeriku
Diam membatu.

Teriakan tanpa tepi
Pandangan mata tanpa ujung
Perjalanan terasa terik tanpa persinggahan tanpa capaian apa-apa.

Demikianlah cerita negeri
Yang tak mengerti lagi
Dimana ia berdiri.

Jakarta, 2010

-Janu W-

Alam Semesta (Lagu Manusia 6)


Mataku teronggok di perpustakaan tua
Melihat keluar dari balik jendelanya
Dan disana aku lihat dunia.

Dialah alam semesta
Pengetahuan yang mengajari hujan menetes dari awan
Pengetahuan yang mengajari manusia menjadi dan menyadari dirinya.

O, kekasihku
Sambutlah pangeranmu
Pangeran yang diatas kepalanya hinggap sebuah mahkota dari kumpulan bunyi alam semesta.

Kutoarjo, 8 Juni 2010

-Janu Wijayanto-

Negeriku (Lagu Manusia 7)




Aku mengagumi lautmu. Mengagumi sungaimu. Gunung-gunung apimu. Dedaunan hijau juga air terjunmu yang tak usai membawa pandang mataku kepadamu. Kagumku kepada hujan yang memberi makan pepohonan. Disana tumbuh ribuan fauna numpang hidup dari kelestariannya.

Aku memandangi lahan dan bukit-bukitmu. Di baliknya tersembunyi ribuan kubik harta berharga. Namun kekagumanku ingin sirna. Disudahi dalam sekejap oleh hamparan tanah yang tak lagi dimiliki petaninya.

Lihatlah, kami mewarisi batu-batu candi. Tanda kebesaran tanah air pada masa lalu,tetapi masa lalu tak pernah lagi hadir pada kami. Negeriku semakin tersudut, membentur mukanya pada wajah batu.

O, lagu manusia
O, negeriku
kepadamu kulukis sajakku.

Purwokerto, 16 Juni 2010
-Janu W-

Sajak Rakyat



Hati-hatilah dengan pemimpinmu!
segeralah asah pikiranmu
singsingkanlah segera lenganmu
hasutlah dirimu
bangunlah jiwamu
bangunlah badanmu.

Pemimpin bukan bunyi bising periuk nasi
pemimpin tidak hidup untuk dirinya sendiri
jangan kau menghormat terlampau tinggi
jangan pula kau berjalan jongkok-jongkok pada manusia seperti ini.

Jangan lagi kau panggil ia terlalu hormat
saat masa depanmu tidak membuatnya bertindak cermat
tidak perlu juga kau mematuhinya terlalu taat
saat nasibmu kian sekarat.

Lihatlah, disana kaummu
jadikan mereka kawanmu
jadikan mereka kekuatanmu
agar kokoh berdiri kedaulatan diatas kakimu.

Wahai lolongan bunyi malam yang menghinggapi sunyi
akankah kau segera mengajari negeri ini
membawakannya kemakmuran yang menari
menghadirkannya segala pilihan dalam genggaman tangannya sendiri.

O, negeriku
susunlah bait-baitmu.

Saat pejabat hanya tahu menerima upeti
saat kau rasakan mereka tak lagi peduli
saat kau susah dan mereka hanya bisa menceramahi
maka dengarkanlah nuranimu sendiri sebab keselamatanmu hukum tertinggi.


20 Juni 2010

-Janu W-

Zaman Menua




Badai mentari
bukit bukit menyepi
menghilang bunyi.

Jaman menua
anyir aroma darah
angkara tiba.

Manado, 27 Juni 2009

-Janu W-

Pekerti (Lagu Manusia 8)




Aku tersenyum diantara batang-batang nyiur
diantara sapa yang mengalir dari bibir tua
siang jo..

Malam itu
di kampung itu
bunyi musik Kulintang berdentang dentang menantangku datang
namun pekerjaan melilitkan tali diantara kedua kakiku
aku hanya bisa terduduk kaku di depan laptop yang bisu.


Aku rindu sajakku
sudah beberapa minggu tak kujumpainya
aku menemukannya
diantara sapa yang mengalir dari bibir tua
siang jo..

O, lagu manusia
aku berhutang pekerti
pada kesantunan dari bibir tua.


Minahasa Utara, 30 Juni 2010

-Janu W-

Kesantunan




Merasakan hadirnya kesantunan seperti merasa basuhan air wudhu menyentuh mukaku. Diantara kantuk dalam dingin cipratannya. Kesantunan memberikan teduh hati dari bunyi suci yang menemukan sandaran. Seperti lelah perjalanan dan mendapati kursi topangan.

O, kesantunan

Ia dirindukan setiap hati. Ia bagaikan semerbak harum bunga yang memberikan sisa api keterjagaan atas lupa. Ia hadir menggandeng tangan sesama dalam keinsyafan menerima kehadiran yang lainnya.

O, kesantunan

Menjumpainya seperti memberi kita nyala. Membagi kita keihklasan dan toleran kepada sesama.

Masihkah pekerti kita tersisa?


Jakarta, 2010

-Janu Wijayanto-

Absurd

Aku melihat manusia-manusia bisu bercakap
manusia-manusia tuli mengangguk
menyetujui kedipan mata temannya yang jauh dari luar dunianya
mimpi masa depan yg menakuti
manusia-manusia bisu itu menyebutnya telepati.

...aaarrrgh..mimpi sampah!
sudah!!
Sudah!!
siapakah kau yang mencelupkanku tubuhku pada resah
wahai Maharaja
jangan taburi aku dengan pasir gelisahmu.

Kembali aku melihat lagi manusia-manusia bisu bercakap dan tertawa
mereka menguasai dunia diantara onggokan perkakas kemajuan yang telah menjadi Dewa
mimpi masa depan yg menakuti
Sudah!
Wahai Maharaja
Kau ada dimana.

Terlihat lagi olehku manusia-manusia itu telah berdiri mengelilingiku diatas batu hitam.

O, debur ombak
O, alam semesta yang memiliki jiwa

Lihatlah disana
mereka telah menyusun pasukannya
pasukan hakim pemmbawa palu yang terus mendekat dan tertunduk meratap.

Aku hendak berlari dari batu hitam/
aku hendak pergi
tetapi batu itu menyerapku
menundukkanku lesu
dengarlah sekelilingmu!!
manusia-manusia bisu itu menyuruhku bicara.

Aku masih terus melihat manusia-manusia bisu bercakap dan tertawa
aku masih menyaksikan manusia-manusia bisu mengangguk menyetujui kedipan mata
aku masih menyaksikan teman-temannya yang jauh datang dari luar dunianya
mereka terus bercakap dan tertawa
disini diantara kita.

Ingin aku segera berlari
tetapi tangan-tangannya memegangi sepatuku
tertunduk lesu aku menghadapi muka batu hitam
dan disana mimpiku telah tertanggal.

Manado, 2 Juli 2010

-Janu W-

Pemuja




Aku memujamu kekasihku
dalam ketiadaan
tanpa sabda dan atas nama agama.

Aku berkawan dengan semesta
menghiasi diri dengan hikmah dan petuah
Aku hanya tahu memelihara bukan maha kuasa.

O, pengembaraan

O, tembang sunyi

Aku menanti hadirmu kekasihku
Agar segera terjawab gelisahku dalam penantian.

Duri-duri kebodohan telah lama menancap di jantung penghakiman
Disana seperti terlihat pantai yang indah/
Namun sebenarnya jurang berkawah.

Manado, 2 Juli 2010

-Janu W-

Rimbunan Bakau

Jangan kau ambil sepiku
jangan kau ambil heningku
jangan tukar kejujuran hatiku dengan gemerlap bising itu
semua hanya akan menjauhkanku darimu.


Wahai rimbunan bakau sembunyikanlah rinduku untuknya.


Manado, 4 Juli 2010

-Janu W-


Selamat Sarapan Pagi Tuan Presiden



Pagi ini aku harus pergi meninggalkan rumahku
di kepalaku terlukis istri dan anakku meminta sesuap nasi untuk makan sore nanti
tak ada lauk anakku
sayur dari pekarangan itu sudah rejeki.


Selamat Sarapan Pagi Tuan Presiden
Engkau begitu santun mengagumkan
Takkan berani wajah kami menatapnya
Tak bisa membayangkan isi meja makanmu yang dijaga.

Buat apa kami ada
toh di hadapanmu kami hanya menjadi angka.



Sulawesi, 5 Juli 2010

-Janu W-

Biar Dikuasai Lupa




Subuh dingin itu kekasihku
dingin telah menjilati kulitku
dingin telah menyedot diriku kedalam dirimu
dingin telah membuka katup dadaku pada hatimu seutuhnya.

Dingin itu kekasihku/
lihatlah, ia telah melipat tubuh kita/
melipat dan melemparnya ke dalam bejana/
bejana yang mendidihkan darahku juga darahmu.

O, aku tak ingin terbangun
tak usah kita sadari semuanya
biar dikuasai lupa.

Jakarta, 22 Juli 2010

Janu W

Tak Ingin Kusudahi Malamku



Tak ingin segera kusudahi malamku untuk terpejam dan entah apa
biar kuperhatikan pulasmu pada bayang ujung bulu mata
ku tak ingin juga sirna.

Jangan terbangun kekasihku
biar kuletakkan pelan bibirku melukis keningmu.

Jakarta, 11 Juli 2010
Janu W

Berpisah




Aku sepi sekian bulan puisiku pergi
entah kemana.

Aku bulir buih meresap lenyap kedalam pasir
entah kenapa.

Kusam terbenam cahaya mukaku
legam padam.

Dan dibalik muka laut kudapati seikat pilu melilit kakiku yang hendak berlari menjauhi lamunanku padamu.



Cocotinos Kimabajo, Minahasa Utara, 27 September 2010

Janu W

Perjumpaan (Lagu Manusia 9)

Kubuka sebuah palang pintu di atas jasad bumi
lalu aku nyalakan api unggun perjumpaan
diatasnya tlah menari gulita dari gemerlap jaman
di balik cakrawala juga awan yang bercinta
di tengah rimba dan di balik cerita tebing jurang tanpa cahaya.


Kujaga nyala rembulan untuk malam-malam kosong
sebuah taman persandingan kucipta dari debu
dari bukit-bukit bait
dari sobek dan rajutan.

Aku kubur ketakutan.


Jogjakarta, 25 November 2010

Janu W

Reruntuhan (Lagu Manusia 10)

Terkutuk bunyi sunyi itu/
kupandangi wajah batu diantara reruntuhan/
kucari puisiku di dalamnya/
sayang sekali/
tidak ada/.


Raja../
kami berseru dibalik reruntuhanmu/
kami hidup diantara pemberontakan dan rencanamu/.


Raja../
Biar kulempar buah pemberontakan kembali ke dalam surgamu/
akulah manusiamu yang pembangkang/
akulah rohmu yang akan kauminta kembali kedalam tubuhmu.


Bekasi, 03 Desember 2010

Janu W

Tanah Airku Tersandra

Aku menjagai perihku
menjagai sedu tanah air ku
menjagai tangis derita sesamaku tanpa pemberontakan atas ketiadaan
sudah semua berlalu begitu saja menaiki tiang gantungan bendera lupa.

Kakiku mendepa
ribuan hektar tanah kami
tanah air kami ini kaya kata para tetua
tetapi kini di tanah kami tidak boleh ada raja
semuanya paria.

Tembok-tembok kokoh bergembok telah berdiri
tanah budaya dilibas industri
lain itu terjual
tak kuasa membendung modal luar negeri.

Kulihat sebarisan burung menari di atas kepalaku
di balik pepohonan
dibalik cerita tentang hutan-hutan tumbang
lalu dibalik bayangan ribuan hektar lahan bercerita tanah air kepadaku tentang deritanya yang berjarak dengan petani.

Terpikat aku pada pemandangan laut
dibalik gunung
di balik pantai
disana ribuan barel minyak mengalir seperti air
diangkuti dan pergi lalu kembali lagi di jual kepada kami dengan harga tinggi tanpa subsidi.

Oo....

Di belakang tembok sekolah kudengar cerita guru
katanya negeri ini pernah seperti singa
katanya negeri ini hebat
tinggi pertumbuhan ekonomi
besar eksport komoditi
lalu akhirnya matilah industri dalam negeri.

Angin pun berbisik kepadaku
membawa sisa-sisa cerita dari derita sesama
katanya petani telah terbunuh.

Sundal peradaban telah menyandera anugerah agung
nurani sepi
nasib sendiri tiada peduli.

Aku menjagai perihku
menjagai sedu tanah air ku
menjagai tangis derita tanpa pemberontakan
sudah semua berlalu begitu saja tersandra pada tiang gantungan bendera lupa.


Kalimantan Barat, 14 Desember 2010

Janu W

Cerita Para Peminum Malam

Kau biarkan aku meregangi malam ini dalam kendali penjelajahan asing yang bukan duniaku. Terdiam...aku sempat terdiam. Lama aku memandangi keindahan itu pada ujung malam. Kau melatiku tetapi bukan lembayung senjaku. Kau menebari wewangianmu padaku. Merajuk padaku seakan kau paling tahu mauku, menarik mukaku kedalam putikmu. O, melatiku ..

Lihatlah sungai-sungai di bawah kita telah tertidur. Tidak ada cerita lain saat ini. Ah, putikku.. aku bersamamu. Bergulat bersama waktu. Mentari hadir sebentar lagi. Kau semakin tenggelam, kau semakin mendendam, menerkam, dan malam kian temaram sinar pagi, lihatlah ia mulai melukisi wajahmu yang tersenyum bahagia kepadaku.


Jakarta, 24 Desember 2010
Janu W

PATRIOT (Untuk Pejuang Tanah Airku)

Pejuang Tanah Airku,

Jasadmu berserak di tanah kami
Darahmu mengaliri bumi kami
Jangan biarkan lagi rayuan yang lain mengalihkan muka kami darimu
Jangan biarkan lagi.... darah kami mengaliri darahmu.

Pejuang Tanah Airku,

Aku sentuhkan keningku di depan pusaramu
Aku ucapkan kasih pujian juga doa untukmu
Namun,.. lihatlah di bawah sana 
Apimu menyala tanpa tanda, dan di baliknya suara riuh, jauh dari derap amanat derita rakyat yang menghilang dari detak kehidupan sebuah negara.

Pejuang Tanah Airku,

Lihatlah kini negerimu
Lihatlah kini tanah airmu
Lihatlah kini pemudamu
Lihatlah kini pemudimu
Mereka kini pemarah
Bahkan sanggup mengangkat bedil, tombak, pedang dan panah tetapi untuk saudaranya sendiri.

Pejuang Tanah Airku

Beri kami nyalamu
Beri kami apimu
Beri kami kobaran keberanianmu
Beri kami keteguhanmu
Beri kami cintamu
Agar kami segera bangkit dan sadar memeluk kembali persatuan generasi tanah airmu
Biarkan kami segera terpanggil berdiri tegak diatas kaki kami sendiri.
Kepadamu kami berkirim salam dan doa
Di pusaramu kami hanya orang-orang asing
Disana jasadmu telah menjadi debu
Biarkanlah tubuh kami hancur sepertimu suatu ketika tetapi ijinkanlah jiwa kami tetap menyala membawa garuda terbang tinggi.......
Membawa kepadamu kejayaan  INDONESIA RAYA!!


Pejuanga Tanah Airku,

Di balik rintihan jutaan generasiku yang pendiam
Aku melihat deretan masa depan sebuah negeri yang tenggelam
lalu...tidakkah kau wariskan kodrat pembebasan itu!
tidakkah kau nyalakan terang sinar yang laksana pijar api sebagai letupan gunung-gunung api yang kini bosan dengan kehidupan diatasnya!
Tidakkah kini kau lihat? alam dan rakyat telah sama!!
Muak melihat pesta pora penguasa
Didalam perutnya bersiap memuntahkan lahar panas
Muntahkan amarah yang tak kunjung padam kepada para penjual negara yang masih hidup diatas bangkai saudara sebangsanya.

Pejuang Tanah Airku,

Kepadamu aku bercerita
Kepadamu kukirimkan doa.

Jakarta, 9 Februari 2011

-Janu W-

Sajak Buat Bung Karno

Berbisik kepada daun
berisik bunyi puisi mengalun
deretan kaki bukit berdiri tertegun
dan di depannya riuh ramai suara penantian perjuangan
penantian perjuangan yang kini teronggok sepi di sudut-sudut halaman sebuah negara.

Bung Karno, engkau telah pergi
Membawa serta semua mimpi kami bersama
Di belakang kepergianmu kami lupa
Di jaman setelahmu negeri ini hilang rupa.

Bunyi kesadaran kian padam
Tarian keberanian mati tenggelam
Deretan bukit-bukit semakin sunyi
Tanpa pengkotbah
Tanpa darah
Lemah tanpa daya
Tak mampu lagi berdiri di atas kaki sendiri.

Angin barat mengaliri tubuh kami
Sunyi dan berserak
Bangsamu seperti mati di bawah ketiak mental budak.

Tidakkah kau lihat saat ini, para pembesar dan mahadewa telah hhilang daya
Keberanian mereka  sirna
Pemimpin negeri telah menjadi kuli, tidak lebih baik dari wibawa agung para petani.

Engkau telah pergi Bung
kami tahu kau relakan dirimu terpanggang gelora persatuan
Tetapi begitulah seperti katamu revolusi
terkadang ia memakan anak kandungnya sendiri.

Berkaca kami kepada rembulan yang merindukan matahari
Berdiri kami dalam barisan  sunyi
dan kepada rembulan itu kami bersaksi
kami berdiri tertatih menyadari bait-bait pesanmu yang sunyi:

"...suatu saat di dalam perjuangan melawan neo-kolonialisme-imperialisme itu kalian akan menghadapi situasi keguncangan, juga terombang-ambing penuh ketidakpastian, maka pesanku berpeganglah pada tuntunan budi nurani kemanusiaan dan berpeganglah kepada amanat penderitaan rakyat maka disitulah akan muncul kekuatanmu kembali..."

Pesanmu yang sunyi menggelegar seperti halilintar
Membakar tubuh dan jiwa kami yang tak sadar
Menebar pesanmu menandai jaman yang hilang

Berbaris ajaranmu menjadi tugas baru yang menanti.

Bung lihatlah Bung,
Lihatlah, diatas sana terbang burung garuda
pergi membawa ruh jaman bersamanya
meninggalkan warisanmu tanpa wasiat
menyisakan bunyi sejarah terpahat di atas nisan peradaban.

Terus saja kami berharap bukan kepada ketiadaan
melainkan kepada apinya pengharapan.


(Janu Wijayanto, 20 Juni 2011)

Berdiri di Tepian Harapan

....aku taburimu gelisahku......

Berdiri di tepian harapan
Kutatap gerimis turun dari atap awan
Disana lamunanku menunjuk ke arah matamu
Memelukmu dengan lemas menunggui penantian.

Berdiri di tepian harapan
Kudengar denyutmu
Dari balik suara angin bercerita malam pada bintang timur
Disana kuraih tubuhmu yang telah mengajariku cara berjalan diantara pilihan.

Ladang-ladang tandus menunggui tetes hujan.


Jkt, 28 Januari 2011

#Janu W#

Berdiri Di Ambang Senja




Berdiri di ambang senja
aku melihat burung-burung camar kembali pulang ke sarangnya
angin telah membawaku pada keharuman
menghadirkanku aroma harum pengembaraan.

21 Januari 2011

-Janu W-