Lihatlah Negeri Kami Tuan

Lihatlah negeri kami tuan,

Untuk cinta kami kepadamu
Lihatlah kami berjalan mentiti batu
Lihatlah kami di atas pulau hutang membangun istana
Lihatlah kami berjalan di atas jurang yang setiap hari kami lalui.

Lihatlah negeri kami tuan,

Kami butiran embun yang bercerita kepada lautan
Tubuh kami menitik jatuh di sendang kehidupan
Kami adalah para pangeran negeri kaya yang berkendara kereta papa
Butir tangis kami telah menjadi besi.

Lihatlah negeri kami tuan,
Lihatlah kami, di tanah kami tuan dapat saksikan nasib menyerpih menjadi bubuk
Kaum kaya berkuasa
Menghibur kami dengan pesta.


Burung-burung terbang membawa kabar perih di balik pulau-pulau kaya
Di balik tanah subur kami tidur
Bulan menyembul di balik awan
Mentari menyapa sepanjang hari.

Lihatlah negeri kami tuan,

Ratapan rakyat telah menjadi batu
Senyap padat di balik setumpuk kertas hitungan laba perusahaan
Negeri kaya menata bebatuan duka rakyatnya
Menjadi jalan lapang hanya bagi kaum berkuasa.

Jakarta, 16 April 2009

Peng-aku-an

Peng-aku-an

aku ini lucu
aku ini payah
aku ini gila
aku ini pemarah
aku ini peragu
aku ini kejam
aku ini penyayang
aku...
aku...
aku...

aku memiliki cinta...

aku...
aku...
aku...

aku ada dalam peng-aku-an.


Purworejo, 27 Juli 2008

Bayangan

Bayangan,

Aku berdiri diantara gelap dan terang
Mungkin juga mereka, dia dan kamu!
Tergelak gembira di atas lupa

Bayangan,

Aku pijar henyak diterpa angin
Mungkin juga mereka, dia dan kamu!
Senang berselimut dari rasa takut.

Bayangan,

Aku cahaya kecil dalam gelap gua batu
Mungkin juga mereka, dia dan kamu!
Menyekap diri dalam jeruji besi tirani.

Mungkin juga mereka, dia dan kamu!
Kita berlari diantara rimbun pepohonan yang bersembunyi dari terik matahari
Seperti bayangan.

Jakarta, Akhir Oktober 2008

Jalanan

Kawan..
Mimpi kita telah menghadirkan tarian sunyi
Sebelum kalah
Sebelum menyerah
Kenanglah.


Kawan..
Kita akan segera beranjak
Biar padam pijar kita
Kita takkan nyasar
Kerja dan tindak bersama menuntun kita hidup diteduhi langit semesta.

Kawan...
Lihatlah di taman itu
Ada sekuntum mawar yang terbuang dari genggaman surga
Ambillah
Lekas berikan kepada pahlawan.

Purworejo, 15 Sept 2008

Aku Diam

Aku diam,
menari di samping kabar kelaparan
aku diam
bungkam.

Aku diam,
tak perlu kemajuan
tak perlu mendengar panggilan
nuraniku telah mati.

Aku diam,seperti yang lainnya
mengajak tidur bunyi hati
menjauhkan diri dari peringatan jaman.



Purworejo, 21 September 2008

Untuk Puisi

Untuk puisi yang pucat pasi
Aku temukan baitmu pada sebongkah batu
Untuk puisi yang tak terbilang
Aku jadikan diriku air yang menyelam ke dalam lautan.


Purworejo, 10 Juli 2008

Tarian Dibalik Papan Rumbia

Ingin kusampaikan protes kegalauan kepada kuasa kata
Ingin kulepaskan anak panahku kepada kertas
Sampai terkulai tubuhku lemas tak berdaya lagi menyumbuimu
Hingga pagi.

Kukecup kening pagiku dalam sisa kopi
Nafasku beranjak kepada asap
Tubuhku membelai keberanian untuk meludahi siangku yang dikuasai terik dan peluh yang membasuh debu.

Siapakah kau yang telah menyuruhku percikkan basuh wudhu pada pagiku
Kau kah itu malaikat
Atau dewa dewi sesembahan leluhurku
Tubuhku terseret pada tubuh nenek tua di balik papan rumbia yang bersiap menghadapi harinya yang terinjak nafsu tamak jaman.

Aku menghadapmu Maha Raja Ku
Membawakanmu hadiah selembar kertas
Mengantar kegelisahan yang bersimpuh tanpa keluh
Seperti papan rumbia rumahnya, hidupnya renta sebatang kara tanpa perhatian dari negara.

-Janu Wijayanto-

Cerita Untuk Paduka

Begitu terang wajah rembulan itu
menemani melipat dingin malam ini di balik kain sarungku
terduduk aku di kursi malas
semalas hatiku yang tak taat kepadamu
aku ini binatangMu.


Begitu kokoh gunung Mahameru
menyuguh riuh harapan di balik belukar kehidupan
tadi, di antara hujan kuhampiri bunyi sumbang pemilik kebenaran
tak berani berharap aku surgamu.


Kupeluk wajahmu dalam keluh desahku
aku anjingmu Paduka
setiap waktuku hanya berisi keluhan padamu.


Janu Wijayanto
2011

Nisan Pesan

Pesan telah mati
mati oleh bisik angin yang membuang kedalaman
petuah telah kalah
kalah oleh redup para pencari hikmah.

Kabut pekat menyelimuti ribuan pesan al kitab suci
keikhlasan hilang jaman
peradaban tumbuh tanpa kasih sayang.

Tubuh tumbuh kekar meminum darah
peradaban hilang arah
pencari makna telah mati dipenggal kuasa lupa.

Hikmah mati sudah
terdampar di pinggir pantai menjadi bangkai
jaman meninggalkan pesan tanpa tulisan di batu nisan.


Purworejo, 25 September 2008
Janu Wijayanto

Kujawab Lolongan Anjing

Aku dengar lolongan anjing
sayup redup
bunyinya kasak kusuk
menyimpan rapat kebencian atas perjumpaan.

Kutunggu waktu menggiringku
hingga tersudut tepi pagi
kubayangkan tarian bidadari malam nanti
kan kulempar jala bahagia untukmu.

Pesta kesenangan menaburiku kegembiraan
hatiku bernyanyi sepanjang hari
kusiapkan kuas tubuhku untuk kulukis tubuhmu kekasihku
hingga suatu hari mimpiku pergi
membawa serta kekasihku bersamanya.

O, pelita hati
telah aku hadirkan hatiku menyentuh hatimu
seluruh badanku bergetar
gempar
bingung dan liar
kau sudahi puisiku usai kujawab lolongan anjing.


Janu Wijayanto
2011

Penantang Angin

Tahukah kau
ia adalah penantang angin
ia miliki tombak suci
bangsaku menyembahnya sebagai kyai.

Tahukah kau
ia penantang angin
tubuhnya dibiarkan remuk
menghadap badai yang mengamuk.

Tahukah kau
siapakah dia
ia penantang angin
tubuhnya hancur memegangi tombak sucinya yang kokoh menopang nurani.

Purworejo, 29 September 2008
Janu Wijayanto

Nyanyian Kampung Nelayan


Berlalu langkahmu bukan menyasar
Hilang cahaya tampak mukanya
Kelam bersama waktu yang muram.

Di batas senja
Aku melihatmu menari
Suram bersama jaman yang hitam.


Aku tersipu
Malu pada nasibmu
Pada senja yang menjauhkanmu dari masa lalu
Pada perjumpaan yang meminggirkanmu dari masa depan.

Pantai Wori, 2010

Janu W