Kesaksian Untuk Paduka Yang Mulia

Tidakkah kau melihat begitu terangnya wajah rembulan kali ini
tentu saja bukan kita sendiri yang melihatnya
Sebelum selimut melipat dinginnya gerimis malam ini
aku ingin berkisah kepadamu
kisah tentang air angin api dan tanah
juga tentang cahaya dari Sang Pencipta
tentang manusia.

Namun sebelum aku memulai cerita,
aku hanya terduduk di kursi malas semalas tubuhhku yang enggan menjelma menjadi manusia,
aku benar-benar hanya binatang ciptaan Mu Tuhan.

Terima kasih tlah Kau utus manusia-manusia agung menyelamatkan tugas anak-anak jamannya.


Jakarta, 2011
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Gonggongan Anjing

Terdengar suara perubahan menyalak sebagai anjing pada malam mencekam
orang-orang yang tlah beranjak ke peraduan dibuat ketakutan
sepi semakin menjadi
drama ketakutan menggeluti malam
diantara segerombolan anjing tak semua menggonggong
namun semua memanfaatkan bunyinya
malam semakin mencekam
Semakin menyalak
semakin menggonggong anjing-anjing

Anjing!

Drama malam anjing
Dan para anjing terus menyuarakan gongongannya
sambil mencabuli temannya
Tidakkah kau tahu gonggongan anjing itu lebih baik dari gonggongamu yang membuat sepanjang malam menjadi suram
Kasihku berbalas ingkar,

Anjing!!



Jakarta, 7 Januari 2010
(Diperbarui 2019)

- Janu Wijayanto -

Pertanyaan Pertanyaan Sajak

Pada penghujung malam di atas aroma tanah tersiram hujan ini
sejujurnya kuakui tlah kuabaikan teguranmu wahai rembulan
membayangkan kecantikanmu aku takut
aku tidak siap menyusun pertanyaan
meski kutahu sekalipun kau akan selalu memberiku jawaban
bisa saja aku akan senang
tapi bisa juga aku sedih
Namun yang jelas pertanyaan selalu menghendaki jawaban.

Masih bolehkah anak-anak kami nanti memiliki harapan di tanahmu ini wahai leluhur dunia
sedangkan banyak mimpi-mimpinya dilarah oleh hukum besimu

Apakah masih boleh kami punya nasib bisa berubah
sedang kami tlah kehilangan bayangan perubahan
sebab kini wahai leluhur dunia
bayangan telah dibeli
diborong habis oleh kekayaan yang saudara kami tak miliki.

Aku hanya bisa mengajukan pertanyaan
pertanyaan sajak.

Jeritan-jeritan kegemparan kehidupan
dari keluh
lenguh
hingga luruh selaksa doa berhamburan keluar dari pesta sejenak rasa.

Pertanyaan sajak mencari jawabanmu
berdikari
atau terkoloni
semua ada dalam jawabanmu.

jawablah dengan mulut dan dayamu sendiri
kau bukan tamu di negeri sendiri
sudahi menjerit
semua pun tahu hidup rakyat sulit

ubahlah olehmu
kau rakyat
bukan penguasa
lihatlah disana petani-petani berseri saat panen tiba, kau akan tetap dipuja saat berjuta pemuda berhasil kau buat bekerja dan menjadi angkatan perangmu
perang untuk merubah keadaan
perang untuk mewujudkan jawaban atas pertanyaanmu

Yakinlah dan kamu akan bisa.

Lihatlah di pagi itu
begitu banyak embun berjejer menuju ujung daun
bangunlah dan saksikan mereka
lantas kau bawa serta dayamu bersamanya.

Sebentar lagi matahari  tropis kita akan berwarna jingga dan sambutlah hasilmu esok akan tiba. Nantikanlah dan teruslah bertanya dan kau jawab sendiri dengan karyamu
dengan imajinasimu
dan pada akhirnya pertanyaan sajakmu akan berlabuh di tepian perwujudan cita-cita.



Jakarta, 12 Januari 2010
(Diperbarui 2019)


-Janu Wijayanto-

Mana Terompetmu Kawan

mana terompetmu kawan...

Biar kita lekas satu,
buruan
sebab sudah banyak hantu baru di kampungmu
menghisap tetangga dan keluargamu
dia bisa masuk ke kamarmu tanpa kau tahu
usir segera dia biar saudaramu adil sejahtera
dia takut dengan pemberani.

...mana terompetmu kawan

Biar lekas terdengar gema bunyimu
bangunkan saudara-saudaramu di dalamnya massa aksi itu
katanya hantu-hantu itu takut kalau kita satu
mereka tak mau memberi pilihan lain
hanya kita yang berjiwa merdeka boleh memilih.

mana terompetmu kawan...

Sudah lama kawan-kawan kita menanti
kejayaan jaman leluhur memang romantik
namun kita butuh itu menjadi penghibur perjuangan
biarkan pasukan alam gaib ikut menari dan bernyanyi bersama kita
mereka baik-baik kecuali yang jahat dan berkhianat
kita ambil lagi pusaka leluhur kita kembali
pusaka yang harus diaktifkan dari setiap manusia yang mendapat tanda.
Tanda yang berarti makna.

....mana... terompetmu kawan

Lihatlah langit kian pekat hitam
Ibu membunuh tega anaknya demi mengakhiri sisa kemelaratan
sementara disana mereka berpesta menghamburkan kekayaannya.

mana terompetmu kawan

kita tak pernah melarang orang kaya
hanya perlu meniupkan sangkakala agar manusia seperti kita mau berbagi hati dan kerjasama

....mana terompetmu kawan

Ayo menari
ayo menyanyi
biarkan kita semua bisa berpesta
bersatu dalam kerja dan karya
menjemput keadilan dan kekamuran yang dijanjikan menjadi milik kita.


Jakarta, 20 Januari 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Aroma Kembang Kopi

Telah kuseberangi batasmu
melintasi bibir bukitmu
berteman aroma kembang kopi.

Aku menerka
menyoal dan bertanya
bergegas lekas dari balik kaca kedaraanku
mataku singgah pada tubuh-tubuh yang nampak lelah.

Matanya bertanya kepadaku
pada kedatangan-kedatangan baru yang mendekar padanya
kami punya harapan tetapi tidak punya kesempatan.

Aroma kembang kopi 
begitu wangi 
semerbak memberi harapan namun kemudian hilang kedalam semak belukar ketiadaan
mereka tetap bekerja
dan menunggui kemakmurannya yang selalu lama atau seringkali datang terlambat menyapanya.

Perjalanan ke Musi Rawas, 1 Februari 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Tirai Hidup



Jangan kau jauhkan aku
berkata dia kepada langit
tunggulah sampai separuh bulan beranjak
akan kau dapati tubuhku kuserahkan kepadamu.

Ia akan mengajakmu bercerita
mengguruimu
mencibirmu
hingga pada gilirannya waktunya tiba ia akan mampu membuatmu lupa.

Cawan keindahan melukis wajah peradaban
bercinta dengan gelora
bercumbu mesra dengan nestapa
menyumbui alam yang tak pernah berontak kau perkosa
alam dan manusia berada di saat yang sama
seperti kedatangan dan perpisahan
kesulitan dan kemudahan
tirai itu tipis setipis kematian dan kehidupan disebelahnya

Dan kau, harus mengingatnya.


Pulau Nias, 2010
(Diperbarui tahun 2019)

-Janu Wijayanto-

Takkan Letih Bumiku



Jangan letih bumiku
lihatlah kembang-kembang itu masih tumbuh
semangat juang masih utuh
lihatlah di ujung sana pengharapan
setiap kali muka-muka tengadah dan meminta
mereka berharap dan meminta
kita pun seringkali sama
hanya berbeda.

Jangan letih bumiku
dengarlah suara itu
taat menunggui panggilanmu hingga matahari hilang
bersabar menanti kemurahan datang.

Jangan letih bumiku
pralaya akan tiba
berseraklah dimana-mana
bagikanlah kebajikan untuk menghindarinya
bergeraklah tanpa sepengetahuan mereka
hingga jiwamu tak lagi terkunci.

Jangan letih bumiku
hutang kami kepadamu
pada semangat yang berani menamparku
pada tekad yang seringkali membakarku
juga pada tetesan sajak-sajak mencair mengalir menenggelamkan hanyut kebodohanmu.


Jakarta, 5 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Bait Api



Baitnya setajam kapak dan sangkur
tebas putus rantai belenggu kufur
Raja Api sajaknya tak pernah tidur.

Bait api
bakar-bakarlah jiwa kami
bakar-bakarlah badan kami
biar adil sejahtera bumi kami.

Jakarta, 12 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-