Negeriku (Lagu Manusia 7)




Aku mengagumi lautmu. Mengagumi sungaimu. Gunung-gunung apimu. Dedaunan hijau juga air terjunmu yang tak usai membawa pandang mataku kepadamu. Kagumku kepada hujan yang memberi makan pepohonan. Disana tumbuh ribuan fauna numpang hidup dari kelestariannya.

Aku memandangi lahan dan bukit-bukitmu. Di baliknya tersembunyi ribuan kubik harta berharga. Namun kekagumanku ingin sirna. Disudahi dalam sekejap oleh hamparan tanah yang tak lagi dimiliki petaninya.

Lihatlah, kami mewarisi batu-batu candi. Tanda kebesaran tanah air pada masa lalu,tetapi masa lalu tak pernah lagi hadir pada kami. Negeriku semakin tersudut, membentur mukanya pada wajah batu.

O, lagu manusia
O, negeriku
kepadamu kulukis sajakku.

Purwokerto, 16 Juni 2010
-Janu W-

Sajak Rakyat



Hati-hatilah dengan pemimpinmu!
segeralah asah pikiranmu
singsingkanlah segera lenganmu
hasutlah dirimu
bangunlah jiwamu
bangunlah badanmu.

Pemimpin bukan bunyi bising periuk nasi
pemimpin tidak hidup untuk dirinya sendiri
jangan kau menghormat terlampau tinggi
jangan pula kau berjalan jongkok-jongkok pada manusia seperti ini.

Jangan lagi kau panggil ia terlalu hormat
saat masa depanmu tidak membuatnya bertindak cermat
tidak perlu juga kau mematuhinya terlalu taat
saat nasibmu kian sekarat.

Lihatlah, disana kaummu
jadikan mereka kawanmu
jadikan mereka kekuatanmu
agar kokoh berdiri kedaulatan diatas kakimu.

Wahai lolongan bunyi malam yang menghinggapi sunyi
akankah kau segera mengajari negeri ini
membawakannya kemakmuran yang menari
menghadirkannya segala pilihan dalam genggaman tangannya sendiri.

O, negeriku
susunlah bait-baitmu.

Saat pejabat hanya tahu menerima upeti
saat kau rasakan mereka tak lagi peduli
saat kau susah dan mereka hanya bisa menceramahi
maka dengarkanlah nuranimu sendiri sebab keselamatanmu hukum tertinggi.


20 Juni 2010

-Janu W-

Zaman Menua




Badai mentari
bukit bukit menyepi
menghilang bunyi.

Jaman menua
anyir aroma darah
angkara tiba.

Manado, 27 Juni 2009

-Janu W-

Pekerti (Lagu Manusia 8)




Aku tersenyum diantara batang-batang nyiur
diantara sapa yang mengalir dari bibir tua
siang jo..

Malam itu
di kampung itu
bunyi musik Kulintang berdentang dentang menantangku datang
namun pekerjaan melilitkan tali diantara kedua kakiku
aku hanya bisa terduduk kaku di depan laptop yang bisu.


Aku rindu sajakku
sudah beberapa minggu tak kujumpainya
aku menemukannya
diantara sapa yang mengalir dari bibir tua
siang jo..

O, lagu manusia
aku berhutang pekerti
pada kesantunan dari bibir tua.


Minahasa Utara, 30 Juni 2010

-Janu W-

Kesantunan




Merasakan hadirnya kesantunan seperti merasa basuhan air wudhu menyentuh mukaku. Diantara kantuk dalam dingin cipratannya. Kesantunan memberikan teduh hati dari bunyi suci yang menemukan sandaran. Seperti lelah perjalanan dan mendapati kursi topangan.

O, kesantunan

Ia dirindukan setiap hati. Ia bagaikan semerbak harum bunga yang memberikan sisa api keterjagaan atas lupa. Ia hadir menggandeng tangan sesama dalam keinsyafan menerima kehadiran yang lainnya.

O, kesantunan

Menjumpainya seperti memberi kita nyala. Membagi kita keihklasan dan toleran kepada sesama.

Masihkah pekerti kita tersisa?


Jakarta, 2010

-Janu Wijayanto-

Absurd

Aku melihat manusia-manusia bisu bercakap
manusia-manusia tuli mengangguk
menyetujui kedipan mata temannya yang jauh dari luar dunianya
mimpi masa depan yg menakuti
manusia-manusia bisu itu menyebutnya telepati.

...aaarrrgh..mimpi sampah!
sudah!!
Sudah!!
siapakah kau yang mencelupkanku tubuhku pada resah
wahai Maharaja
jangan taburi aku dengan pasir gelisahmu.

Kembali aku melihat lagi manusia-manusia bisu bercakap dan tertawa
mereka menguasai dunia diantara onggokan perkakas kemajuan yang telah menjadi Dewa
mimpi masa depan yg menakuti
Sudah!
Wahai Maharaja
Kau ada dimana.

Terlihat lagi olehku manusia-manusia itu telah berdiri mengelilingiku diatas batu hitam.

O, debur ombak
O, alam semesta yang memiliki jiwa

Lihatlah disana
mereka telah menyusun pasukannya
pasukan hakim pemmbawa palu yang terus mendekat dan tertunduk meratap.

Aku hendak berlari dari batu hitam/
aku hendak pergi
tetapi batu itu menyerapku
menundukkanku lesu
dengarlah sekelilingmu!!
manusia-manusia bisu itu menyuruhku bicara.

Aku masih terus melihat manusia-manusia bisu bercakap dan tertawa
aku masih menyaksikan manusia-manusia bisu mengangguk menyetujui kedipan mata
aku masih menyaksikan teman-temannya yang jauh datang dari luar dunianya
mereka terus bercakap dan tertawa
disini diantara kita.

Ingin aku segera berlari
tetapi tangan-tangannya memegangi sepatuku
tertunduk lesu aku menghadapi muka batu hitam
dan disana mimpiku telah tertanggal.

Manado, 2 Juli 2010

-Janu W-

Pemuja




Aku memujamu kekasihku
dalam ketiadaan
tanpa sabda dan atas nama agama.

Aku berkawan dengan semesta
menghiasi diri dengan hikmah dan petuah
Aku hanya tahu memelihara bukan maha kuasa.

O, pengembaraan

O, tembang sunyi

Aku menanti hadirmu kekasihku
Agar segera terjawab gelisahku dalam penantian.

Duri-duri kebodohan telah lama menancap di jantung penghakiman
Disana seperti terlihat pantai yang indah/
Namun sebenarnya jurang berkawah.

Manado, 2 Juli 2010

-Janu W-

Rimbunan Bakau

Jangan kau ambil sepiku
jangan kau ambil heningku
jangan tukar kejujuran hatiku dengan gemerlap bising itu
semua hanya akan menjauhkanku darimu.


Wahai rimbunan bakau sembunyikanlah rinduku untuknya.


Manado, 4 Juli 2010

-Janu W-


Selamat Sarapan Pagi Tuan Presiden



Pagi ini aku harus pergi meninggalkan rumahku
di kepalaku terlukis istri dan anakku meminta sesuap nasi untuk makan sore nanti
tak ada lauk anakku
sayur dari pekarangan itu sudah rejeki.


Selamat Sarapan Pagi Tuan Presiden
Engkau begitu santun mengagumkan
Takkan berani wajah kami menatapnya
Tak bisa membayangkan isi meja makanmu yang dijaga.

Buat apa kami ada
toh di hadapanmu kami hanya menjadi angka.



Sulawesi, 5 Juli 2010

-Janu W-

Biar Dikuasai Lupa




Subuh dingin itu kekasihku
dingin telah menjilati kulitku
dingin telah menyedot diriku kedalam dirimu
dingin telah membuka katup dadaku pada hatimu seutuhnya.

Dingin itu kekasihku/
lihatlah, ia telah melipat tubuh kita/
melipat dan melemparnya ke dalam bejana/
bejana yang mendidihkan darahku juga darahmu.

O, aku tak ingin terbangun
tak usah kita sadari semuanya
biar dikuasai lupa.

Jakarta, 22 Juli 2010

Janu W

Tak Ingin Kusudahi Malamku



Tak ingin segera kusudahi malamku untuk terpejam dan entah apa
biar kuperhatikan pulasmu pada bayang ujung bulu mata
ku tak ingin juga sirna.

Jangan terbangun kekasihku
biar kuletakkan pelan bibirku melukis keningmu.

Jakarta, 11 Juli 2010
Janu W

Berpisah




Aku sepi sekian bulan puisiku pergi
entah kemana.

Aku bulir buih meresap lenyap kedalam pasir
entah kenapa.

Kusam terbenam cahaya mukaku
legam padam.

Dan dibalik muka laut kudapati seikat pilu melilit kakiku yang hendak berlari menjauhi lamunanku padamu.



Cocotinos Kimabajo, Minahasa Utara, 27 September 2010

Janu W

Perjumpaan (Lagu Manusia 9)

Kubuka sebuah palang pintu di atas jasad bumi
lalu aku nyalakan api unggun perjumpaan
diatasnya tlah menari gulita dari gemerlap jaman
di balik cakrawala juga awan yang bercinta
di tengah rimba dan di balik cerita tebing jurang tanpa cahaya.


Kujaga nyala rembulan untuk malam-malam kosong
sebuah taman persandingan kucipta dari debu
dari bukit-bukit bait
dari sobek dan rajutan.

Aku kubur ketakutan.


Jogjakarta, 25 November 2010

Janu W

Reruntuhan (Lagu Manusia 10)

Terkutuk bunyi sunyi itu/
kupandangi wajah batu diantara reruntuhan/
kucari puisiku di dalamnya/
sayang sekali/
tidak ada/.


Raja../
kami berseru dibalik reruntuhanmu/
kami hidup diantara pemberontakan dan rencanamu/.


Raja../
Biar kulempar buah pemberontakan kembali ke dalam surgamu/
akulah manusiamu yang pembangkang/
akulah rohmu yang akan kauminta kembali kedalam tubuhmu.


Bekasi, 03 Desember 2010

Janu W

Tanah Airku Tersandra

Aku menjagai perihku
menjagai sedu tanah air ku
menjagai tangis derita sesamaku tanpa pemberontakan atas ketiadaan
sudah semua berlalu begitu saja menaiki tiang gantungan bendera lupa.

Kakiku mendepa
ribuan hektar tanah kami
tanah air kami ini kaya kata para tetua
tetapi kini di tanah kami tidak boleh ada raja
semuanya paria.

Tembok-tembok kokoh bergembok telah berdiri
tanah budaya dilibas industri
lain itu terjual
tak kuasa membendung modal luar negeri.

Kulihat sebarisan burung menari di atas kepalaku
di balik pepohonan
dibalik cerita tentang hutan-hutan tumbang
lalu dibalik bayangan ribuan hektar lahan bercerita tanah air kepadaku tentang deritanya yang berjarak dengan petani.

Terpikat aku pada pemandangan laut
dibalik gunung
di balik pantai
disana ribuan barel minyak mengalir seperti air
diangkuti dan pergi lalu kembali lagi di jual kepada kami dengan harga tinggi tanpa subsidi.

Oo....

Di belakang tembok sekolah kudengar cerita guru
katanya negeri ini pernah seperti singa
katanya negeri ini hebat
tinggi pertumbuhan ekonomi
besar eksport komoditi
lalu akhirnya matilah industri dalam negeri.

Angin pun berbisik kepadaku
membawa sisa-sisa cerita dari derita sesama
katanya petani telah terbunuh.

Sundal peradaban telah menyandera anugerah agung
nurani sepi
nasib sendiri tiada peduli.

Aku menjagai perihku
menjagai sedu tanah air ku
menjagai tangis derita tanpa pemberontakan
sudah semua berlalu begitu saja tersandra pada tiang gantungan bendera lupa.


Kalimantan Barat, 14 Desember 2010

Janu W

Cerita Para Peminum Malam

Kau biarkan aku meregangi malam ini dalam kendali penjelajahan asing yang bukan duniaku. Terdiam...aku sempat terdiam. Lama aku memandangi keindahan itu pada ujung malam. Kau melatiku tetapi bukan lembayung senjaku. Kau menebari wewangianmu padaku. Merajuk padaku seakan kau paling tahu mauku, menarik mukaku kedalam putikmu. O, melatiku ..

Lihatlah sungai-sungai di bawah kita telah tertidur. Tidak ada cerita lain saat ini. Ah, putikku.. aku bersamamu. Bergulat bersama waktu. Mentari hadir sebentar lagi. Kau semakin tenggelam, kau semakin mendendam, menerkam, dan malam kian temaram sinar pagi, lihatlah ia mulai melukisi wajahmu yang tersenyum bahagia kepadaku.


Jakarta, 24 Desember 2010
Janu W

PATRIOT (Untuk Pejuang Tanah Airku)

Pejuang Tanah Airku,

Jasadmu berserak di tanah kami
Darahmu mengaliri bumi kami
Jangan biarkan lagi rayuan yang lain mengalihkan muka kami darimu
Jangan biarkan lagi.... darah kami mengaliri darahmu.

Pejuang Tanah Airku,

Aku sentuhkan keningku di depan pusaramu
Aku ucapkan kasih pujian juga doa untukmu
Namun,.. lihatlah di bawah sana 
Apimu menyala tanpa tanda, dan di baliknya suara riuh, jauh dari derap amanat derita rakyat yang menghilang dari detak kehidupan sebuah negara.

Pejuang Tanah Airku,

Lihatlah kini negerimu
Lihatlah kini tanah airmu
Lihatlah kini pemudamu
Lihatlah kini pemudimu
Mereka kini pemarah
Bahkan sanggup mengangkat bedil, tombak, pedang dan panah tetapi untuk saudaranya sendiri.

Pejuang Tanah Airku

Beri kami nyalamu
Beri kami apimu
Beri kami kobaran keberanianmu
Beri kami keteguhanmu
Beri kami cintamu
Agar kami segera bangkit dan sadar memeluk kembali persatuan generasi tanah airmu
Biarkan kami segera terpanggil berdiri tegak diatas kaki kami sendiri.
Kepadamu kami berkirim salam dan doa
Di pusaramu kami hanya orang-orang asing
Disana jasadmu telah menjadi debu
Biarkanlah tubuh kami hancur sepertimu suatu ketika tetapi ijinkanlah jiwa kami tetap menyala membawa garuda terbang tinggi.......
Membawa kepadamu kejayaan  INDONESIA RAYA!!


Pejuanga Tanah Airku,

Di balik rintihan jutaan generasiku yang pendiam
Aku melihat deretan masa depan sebuah negeri yang tenggelam
lalu...tidakkah kau wariskan kodrat pembebasan itu!
tidakkah kau nyalakan terang sinar yang laksana pijar api sebagai letupan gunung-gunung api yang kini bosan dengan kehidupan diatasnya!
Tidakkah kini kau lihat? alam dan rakyat telah sama!!
Muak melihat pesta pora penguasa
Didalam perutnya bersiap memuntahkan lahar panas
Muntahkan amarah yang tak kunjung padam kepada para penjual negara yang masih hidup diatas bangkai saudara sebangsanya.

Pejuang Tanah Airku,

Kepadamu aku bercerita
Kepadamu kukirimkan doa.

Jakarta, 9 Februari 2011

-Janu W-