Seorang Pengelana


Sajakmu beku bunyi
keindahan membenci
hanya nadi jaman tetap bernyanyi.

Untuk bumi ranjang kita
biarlah kapalmu berlayar ke samodra rahasia
biar bibirmu mengumpat mantra tanda
persetujuan terbaru digali dari lakumu
didapati dari perjalanan seorang pengelana.


Jakarta, 15 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Sajak Bebal Kemerdekaan


Sudahkah kau buang goresan kisah revolusi 17 Agustus 1945 dari catatanmu
kau biarkan teronggok sebagai tumpukan kertas bekas menghias tembok batu
hanya menyimpannya sebatas kisah akan masa lalu.

Kau adalah generasi pelamun yang bebal
dan wajarlah jika kau hanya mampu membikin sajak bebal
punguk merindukan bukan
pengennya hidup enak tak mau kerja
bermimpi makan kenyang di tengah perih bunyi perut lapar
tanpa berbuat
tanpa berdebat
menunggu kemustahilan omong kosong
Jangan kau tiru yang disana
mereka berdebat kenyang sambil menunggu gaji negara.

Kalau kau menirunya kau akan mati
kau lapar
kau miskin'
kau jangan belagu!
Lekaslah bekerja.

Kamu belum merdeka!!



Jakarta, 23 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Tubuhmu di Mimpi Malam Itu


....di mimpi malam itu
saat ku selami danau itu 
kita berdua tenggelam begitu dalam
apakah ini ilusi waktu...
aku begitu lupa itu tubuh siapa...

Kuingat saat kau sibakkan dahan-dahan bakau itu
separuh saat berlalu datang dan kau menghilang 
kupanggil hadir dan kau berlari
kumendekat dan semakin jauh bayangmu berlalu.

...di mimpi malam itu...

kayuh perahuku dan cadikmu 
mendepa begitu dalam biru lautmu
terengah separuh malamku...
hitungan waktu matahari tak kuat lagituk menghamburi sinar pagi
berhamburan sinarnya bakal menembus tubuhku...
tak ingin segera berlalu,
sebab terang kelip bintang masih hiasi sudut malam
menunggu habis tubuhmu mencair dalam pangkuanku

...di mimpi malam itu ...

mengalir air hujan di atas genteng
deras dan basah membawa suasana suwung
tanpa tangisan tanpa pujian
kehendak bebas menderu tanpa kuasa melawan 
menggumpal pada tubuh malam itu
tubuh yang menguasaiku
tubuh yang memerintahku
aku tiada 
hanya TubuhMu yang nyata

Terjatuh kita dari swarga
dekatkanlah tubuhmu pada tubuh malam
tenggelamlah bersamanya 

Sebelum hari berganti pagi
pagi akan segera siang dan siang mengundang senja lantas mengajak malam kembali datang
mengingatkanmu
mengingatkanku
... tak perlu kita meminta dia datang dan memberi kenali saja 
tugas kita mengenalinya ...

Tubuhmu di mimpi malam itu tak berarti apa-apa 


Jakarta, 2011
(Diperbarui Desember 2020)

-Janu Wijayanto-

Aih ai

Aih ai
Aih ai …
aku jatuh cinta
kepada rembulan, danau dan bunga-bunga.

Aih ai
Aih ai ...
mataku berlabuh di pantai
hatiku berdebur pada gulungan ombak yang membawa bayangmu berselancar diatasnya.

Aih ai
Aih ai...
aku mengingatnya
aku merindunya.


Manado, 2010

-Janu W-

Hari Yang Biasa


Aku tak lagi tersenyum mendengar kokok ayam
seperti juga kamu yang dilanda kemuakan
kau tolak beranjak dari ranjangmu
dan selubung ini membuat kita semua sama
manusia biasa
kadang merasa malas.

Aku tak lagi menandai malamku
sebab malam tak sudi lagi membiarkanku menghabiskannya
dan untuk itu aku tak lagi setia menungguinya.

Tetapi pagi selalu kembali tiba
tak lama lagi debu dan asap telah menanti kelopak mata
dan tiba kita pada hari-hari yang biasa.


Jakarta, 28 Maret 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

O Pengembara

O, dingin
Maharaja dimana rumahmu
kakiku lelah menujumu tanpa arah.

O, pengembaraan
O, dunia
terlempar aku
tak lama.


Jakarta, 2 April 2010
-Janu Wijayanto-

Kaum Kalah

Diam resah
hidup pasrah
menyerah
kalah.

sampai akhirnya pada perut pertiwi
kau berkata
disini tidak ada surga
aku kalah.

Jakarta 6 April 2010
(Diperbarui 2019)

-Janu Wijayanto-

Langkah Kaki Buta


Langkah tertinggal tanpa jejak
tetapi kaki terus berayun dengan mata kaki tertutup sepatu
langkah kaki buta
jangan menjadi generasi yang tak diakui ibunya sendiri.

Jakarta, 05 April 2010

-Janu Wijayanto-

Deretan Kegelisahan

Menghitung deretan kegelisahan
berteman dengan kumpulan bising
aku debu terhempas angin
teronggok bersama daun-daun kering.

O, kegelisahan
O, sajak setia
O, cinta
hilang terbang tanpa pesan.

Telah kau tusuk hatiku
terkoyak
berantak.

O, gitaku
tembang jiwa.

Kau suguhi aku gelisahmu
dalam deretan tebing malam menggelisahkan
disana telah terbaring tubuhmu menantiku
menanti hitungan derap jantung menyusuri deretan kegelisahan.


Gunung Putri, 06 April 2010
-Janu W-

Runtuhnya Kota Itu

Malam padam
lampu tak lagi peduli menolehkan cahayanya dimataku
terang itu tlah pergi bersamamu.

Aku lelah berdiri dalam gelap
mendiami tirani sunyi yang menyayat
meratapi tarianmu yang hilang.

Oh, Agaphe
sudah cukup kauajari aku deritamu.

Runtuhnya kota itu
meninggalkan bekas pagar duri-duri hati
dan di balik runtuhan tembok aku mendengar gemerisik daun dirayu angin
aku cemburu
aku marah
aku benci
iri
Aku berlari mengejar angin yang hilang membawa pergi kekasihku bersamanya.



Jakarta, 08 April 2010

-Janu W-

Pengembaraan

Tercium wangi olehku pengembaraan
O, burung-burung senja
berguru aku kepadamu.

Debu hantarkanku pada kelip mata di wajah sesama
aku hidup di antara
sepertimu senja.

Jakarta, 9 April 2010
-Janu W-

Kawan Penyair

Ludahmu pun kau ludahkan menjadi sajak.


Purworejo, 8 April 2010
-Janu W-

Biarkan Hati Yang Bicara

Saat kata tak mampu lagi berkata biarkan hati yang bicara
aksara itu
aku mengejanya
kalimat itu pilihannya.

Tak ada sesaji persembahan
hilang bernyanyi burung pagi
pergi berganti desing besi di kota ini.

O, debu
telah kau curi temaram dari balik malamku
sudah kau usir pergi rembulan dari balik awan itu
dan kini sepanjang hari kau sesaki hatiku.


Lihatlah, sisa keindahan itu tak terceritakan lagi.


Bekasi, 13 April 2010
-Janu W-

Minerva

Sore ini
aku menatapnya
diam.

Minerva itu
tiada lagi
ia tlah pergi sore ini.

Tertunduk aku
hilang nyanyian
akar ilalang melilit kakiku
mengikatku menjauh tanpa penantian.


Jakarta, 23 April 2010
-Janu W-

Elegi Penghuni Pulau Api

Di depan kibaran bendera itu
aku melihat tubuh-tubuh tidur diatas emas
aku melihat wajah-wajah sendu bersandar letih pada tebing batu-batu cadas
di bawahnya mengalir sungai kehidupan
mengalir deras oleh tangis para penghuni pulau-pulau api.


Stasiun Tugu Yogyakarta, 18 April 2010
-Janu W-

Gadis Kecil Di Balik Rumpun Bambu

Mendekatlah kau langkah kecil
aku melihat wajahmu
kau sembunyikannya di balik rumpun bambu
aku melihatmu
melihatmu tangan kecil
kau tampakkannya tegar menyibak rumpun bambu.

Langkah-langkah kecil terus berjalan menyibak wajah kematian menginginkan kebahagiaan kecil dari sisa kasih sayang yang diberikan matahari kepada pagi.

Kemarilah dadaku kuat menyangga bebanmu
aku melihat tubuhmu
di balik rumpun bambu
Kemarilah sayangku ijinkanku memeluk tubuh Tuhan di tubuhmu.

Yogyakarta, 20 April 2010

-Janu W-

Bencana

Lusuh melukis wajah malam menggelapi kesombongan
bencana tak sangka
datang begitu saja.

Sebuah janji
hadir dalam garis yang pasti
berarti mati.

Di pucuk warna bumi
diantara yang terus hadir dan pergi
hidup diantara tirai mati
diantara keselamatan dan bencana.

Jakarta, 24 April 2010

-Janu W-

Tragedi Sekolahan

Lihatlah Ibu, anakmu letih menatap kertas ujian nasional
kerlip cahaya di mata
menanggung beban rekayasa orang dewasa.

Lihatlah Ibu, aih… anakmu lulus juga
tetapi, kelulusan ini hanya menjadi awal duka
sebab tak ada lagi dana untuk kemana.

Lihatlah Ibu, anakmu sekarang kerja
tetapi ia tak bisa apa-apa hanya tubuhnya saja semakin kurus
karena ingin mengganti tenaga dengan upah sedapatnya.

Jangan kau tanya berapa gajiku ibu
sebab di negeri ini buruh sepertiku tabu menanyakannya
lebih baik memilih diam tak tahu apa-apa.

Hai...hai... lihatlah Ibu,
anakmu pun berkeluarga
beranak pinak hingga kepalanya bercabang banyak
tetapi lihatlah tak ada lagi lebihan dari hasil kerja.

O, Ibu lihatlah anak-anakmu
mewariskan kembali kesengsaraan pada anaknya
beginilah kalau pernah sekolah namun tak sadar apa-apa untuk nasibnya.


Jakarta, 26 April 2010
-Janu W-

Sajak Untuk Intelektual Indonesia



T..
…I
…D
..U...
…R.

TIDUR.


Jakarta, April 2010
-Janu W-

Good Bye



I let you walk
I left that night
you asked me why
that wasn't there.


Yogyakarta, Maret 2010

-Janu W-

Hati Yang Telah Menjadi Besi

Aku melihat mereka
terkapar di jalanan
merasai perutnya
juga tangannya yang menopang dagu
di dekatnya gerobak menampung anak-anak mereka, bercanda mendendangkan kekurangan.

Debu melukis wajahnya
beton dingin pesing lorong jalanan menyunggi kepalanya
apakah mereka juga ciptaanmu Tuhan.

Melihat disampingnya mobil mewah dan sekawanan pejabat berlalu dalam pengawalan bunyi sirine melaju
apakah mereka juga ciptaanmu Tuhan.



Jakarta, 29 April 2010

-Janu W-

May Day


Telah datang harimu wahai buruh
rayakanlah
sadarkanlah kawanmu
perjuangkanlah hakmu.

Pada barisanmu sajakku bersamamu
memihakmu
ajaklah saudaramu menari
di depanmu telah berdiri robot-robot kekar siap mencabik badanmu yang kurus itu bungkam sunyi.

Jangan kita hilang muka
sudah lemah raga
lemah jiwa.

Putuslah rantai belenggu kita
jadikan manivesto pembela
sebelum mimpi kita terbagi
sebelum habis negara dikuasai kepemilikan pribadi.

Jangan kau tanya kini arti kepatutan
sebab untuk bisa menjual peluh pun, kau harus berebut dengan saudaramu sendiri
Jangan kau tanya lagi keadilan
sebab untuk menjadi kuli pun, kau harus berkelahi dengan kawan sendiri
Saatnya tugasmu menyudahi
sebelum malapetaka kembali menimpa.

Kami tak bisa bicara lantang kepadamu tentang kebahagiaan
tak lagi mengirimimu kabar gembira
tidak juga taburkan bunga-bunga pada pahlawanmu disana
sebab pada hari ini sudah hilang kesadaran kita bersama.

Sudahi meminta-minta kebaikan hati penguasa
jawabannya sudah pasti legam seperti tubuhmu
jawabannya sudah pasti geram menjawab permintaanmu itu.

Kibarkan panji-panji kekuatanmu
hantamkan tinjumu
rebut hakmu dan jangan lagi mengharap-harap mukjizat
jadikan kesejahteraan kita kristalisasi keringat.

Lihatlah kawanmu
mereka mulai diam terkena candu
bunyi kesadaran telah dikuasai lupa dan absentia.

Bangkit
Bangkit jiwamu
bangkit badanmu
penuhilah pundakmu dengan kerja.

Lihatlah kawanmu dimana-mana
di seluruh penjuru dunia
merayakan hari ini dengan gembira
dengan gelora api kesadarannya.

Esok pagi kita akan bernyanyi
tembangkan gita suci kemerdekaan
hayo kita penuhi jalan-jalan
biarkan barisan kita membangunkan harapan.


Jakarta, May Day 2010
-Janu W-

Mahatma Suci

Aku menatap julang tembok
aku menyadari bunyi kekosongan
seisi kelilingku mengutuk-ngutuk
tersudut aku nyengir menyaksikan lukisan kebimbangan.

Terbanglah kau mahatma suci
biar manusia menempa diri
menunggui tugasnya
menjadi pelayan sesama.


Jakarta, 3 Mei 2010

-Janu W-

Debu


Tubuhku membatu menunggumu
Tubuhku membeku menantimu.

Telah kucumbui ruasmu
disana tak juga kau tiba
Telah kutaati takdirku
disana tlah membekas pahatan dari derita.

Terpojok aku disudut gelap
menjilati tetesan darah dari luka kekasihku
aku tak berbentuk menjemputmu
remuk.

Kulihat bunyi bende perang menari diatas luka kesedihan
kusaksikan lomba manusia zaman badai berkhianat kepada angin
di matanya kulihat seekor anjing
meneteskan bunyi liurnya ke mulutku
mengutukiku
menghardikku
menyalakiku
lalu menjilat leherku
dan bicara mulutnya di depan mulutku:
"akulah dirimu yang tega menelan bangkai,
mencederai kekasihmu yang menunggui malamnya dengan doa-doa, yang menantimu dalam kibaran denting kesetiaan namun tlah kau benamkan anak panah pengabaianmu pada semua itu".

O, debu
Jilatilah tubuhku
aku sepertimu.

O, debu
Basuhlah aku
biarkan aku bisa kembali
mencumbui tubuh kekasihku yang tlah sunyi terkhianati.


Jakarta, 8 Mei 2010
-Janu W-

Di Kampung Para Penipu

Di kampung para penipu
ayo kita serbu
Tancapkan tumbak karyamu usaplah darahnya dengan kelembutanmu
sebab hari kian kering
cita-cita negara telah tergiling.

Di kampung para penipu
ayo kita buru
Hunus keris-keris sajakmu
tusukkan ke hati mereka yang tlah mati
sebab malam kian kelam
hutang terus dikenyam.

Negri korupsi
hidup rakyatnya
menanti mati.


Jakarta, 8 Mei 2010
-Janu W-

Ajakan Kepada Kawan



Dan kegelisahanmu saudaraku
adalah mimpi buruk
buta tuli pada derita sesama harus dilawan!

Sudah saatnya sajak-sajak berserak
hayo berdendang lagu manusia
hayo kawan saatnya menggugat kebudayaan.

Jiwa merdeka tak dikurung kuasa
hayo rapatkan barisan
dengarlah bisik hujan pada dedaunan
disana telah menunggu jutaan mimpi pada separuh malam yang hilang dari derap peradaban.


Jakarta, Mei 2010
-Janu W-

Kidung Suksma



Kidung suksma
di tempatnya kau boleh bicara dan bertanya
AKU adalah sajak itu sendiri
kepadaku kau boleh menangis dan tertawa.

Akulah gita kudus
bunyi terlantar tetembangan jiwa
akulah senyap tulus
bisik jaga pembuka gerbang asa.

Tembangku tak setegar petir
tak segelegar guntur
masih berlumur penuh ketakutan memohon
melawan hasutan kuasa salon.

O, jaman penuh rekayasa
O, jaman tua bangka
kuguratkan kepadamu kegelisahan tembang jiwa.

Biarkan nyanyi suci menari
suguhkan tubuhnya yang telanjang kepadamu
suguhkan kidung suksmajati untukmu
biar kau gagah menapaki tugasmu
untuk menggugat keadaanmu.

O, tepian indah bengawan pengharapan
aku tidak sedang melukis awan.

O, manusia yang dibangunkan bunyi
kekasih penjaja madu harum kelana sunyi.

Biarkan aku mencebur lebur
basuh basah badan mencari
tempa tubuh di kulit api.

O, kidungsuksma
kepadanya kematian bertanya.

Jakarta, 9 Mei 2010
-Janu W-

Tali Pengharapan

Petir itu seperti menyambarku siang ini
aku seperti terbunuh
binasa dihadapan suaranya
diantara setumpuk beban kerja.

Bahasa Zeus tak terpahami manusia
sedang ungkapan cinta hanya metafora saja
apalah artinya rasa tanpa kehadiran
apalah artinya kehadiran tanpa penghayatan.

Ingin segera aku berlari, tetapi kedua kakiku terikat pada sebuah tali pengharapan. Berbisik dedaunan menari di sekelilingku, menggunjingku hingga malam, kaki langit bersenandung dan bumi rasanya terbelah seketika itu, mengejekku.

Bekasi, Mei 2010

-Janu W-

Seperti Hantu


Lihatlah di atas sana langit telah menjadi besi
Lihatlah di atas sana kekuasaan masih seperti hantu.

Masa berlalu
sampai juga terkini
esok tak tahu.

Tindas menindas
besar muka kuasa
seperti hantu.


Jakarta, 12 Mei 2010
-Janu W-

Tarian Semesta (Lagu Manusia 1)


Aku tumbuh di tepi semesta
pernah hanyut di sungai bahagia
pernah juga hanyut hingga pantai duka.

Hidup seperti perang
nurani acapkali menang
di bumi kita pendatang
seperti pagi menunggui petang.

O, lagu manusia
kau suguhiku candaan dari gemulai tarian semesta.


Jakarta, 14 Mei 2010

-Janu W-

Rumah Angin (Lagu Manusia 2)


Hilang tembang pagi
tercium terik hari-hari
mengikis ratap gubuk-gubuk sunyi
berjalan kami dengan tandu hati.

Lihatlah disana,
di balik tirai kegairahan yang menyala
di balik bunyi hasut malas tanpa karya
di balik kuasa diam
di balik keengganan
telah kurajut hari demi hari tanpa jejak persinggahan.

O, lagu manusia
saat ini aku berumah dan beratap pada angin.


Bekasi, 18 Mei 2010
-Janu W-

Hadiah (Lagu Manusia 3)



Ada kalanya orang bernyanyi lebih indah dari suaranya
entah rasa apa menjadikannya ada
mekar bunga bisa jadi layu
tetapi keindahan pada dirinya tetap menunggu.

Apa ini rasa
sekali melewatinya kembali pun tidak bisa
Apa ini rasa
tak perlu kategori apapun padanya hadir tanpa diminta.


O, lagu manusia
ia sungguh hadir tanpa diminta
ia sebuah hadiah dari-Nya.

Minahasa, 2010

-Janu W-

Mengenali Diri (Lagu Manusia 4)




Tak sungguh rasa hidup tanpa ditempa
hidup kita layak diuji
layak dijaga.

Jangan lagi letih wajahmu menunggui pantulan istana kaca itu biarkan ia bercakap-cakap padanya sebentar saja dari waktumu.

O, lagu manusia
di tepimu kucari sajakku sebelum hanyut di sungai waktu.

O, lagu manusia
di sepimu kudapati baitku saat kau ajak aku mengenali diriku.

Jakarta, Mei 2010
-Janu W-

Bingung (Lagu Manusia 5)



Wahai sang pelipat pagi
di kakimu aku bersimpuh
luruh
gaduh.

Angin dan badai itu mengoyakku
anak jaman yang datang meneguk api merdeka
telah dibawanya bangsa ini menyusuri tepian jaman warisan kebingungan.

Kemana larinya pengobar cita-cita
sebab disini mataku hanya bertemu wajah-wajah sayu
terik kesulitan telah melukis wajah-wajah tropis yang legam tanpa cahaya.

Dimana tersimpan pulau harapan
sebab telah lama kami tak tahu seperti apa manisnya keadilan dan kesejahteraan
roda-roda pedati ikut membawa pergi angin
meninggalkan bekas terik yang memanggang harapan kehidupan.

Tanah airku telah menjadi batu
tak dapat disini tumbuh subur mimpiku
tak dapat saat ini tumbuh subur harapanku.

O, lagu manusia
kutemukan sajakku dalam bingungku.

O, lagu manusia
kuciumi waktuku yang hilang bingung itu
meratap dan merayap dalam jejak yang ternyata kosong.


Bekasi, 30 Mei 2010
-Janu W-

Merdeka kok Bingung


Buntu
Bisu
Rakyat negeriku
Diam membatu.

Teriakan tanpa tepi
Pandangan mata tanpa ujung
Perjalanan terasa terik tanpa persinggahan tanpa capaian apa-apa.

Demikianlah cerita negeri
Yang tak mengerti lagi
Dimana ia berdiri.

Jakarta, 2010

-Janu W-

Alam Semesta (Lagu Manusia 6)


Mataku teronggok di perpustakaan tua
Melihat keluar dari balik jendelanya
Dan disana aku lihat dunia.

Dialah alam semesta
Pengetahuan yang mengajari hujan menetes dari awan
Pengetahuan yang mengajari manusia menjadi dan menyadari dirinya.

O, kekasihku
Sambutlah pangeranmu
Pangeran yang diatas kepalanya hinggap sebuah mahkota dari kumpulan bunyi alam semesta.

Kutoarjo, 8 Juni 2010

-Janu Wijayanto-